TIMIKA, Koranpapua.id– Masyarakat dua kabupaten di Papua Tengah yakni Puncak dan Intan Jaya, saat ini hidup dalam perasaan takut dan trauma.
Hidup dalam suasana yang tidak aman itu, sebagai dampak dari pecahnya konflik senjata yang terjadi di wilayah itu dalam beberapa waktu terakhir.
Akibat eskalasi konflik yang terus meningkat membuat ribuan masyarakat pribumi di dua kabupaten itu, terpaksa harus meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi di tempat-tempat yang dianggap aman.
Menyikapi konflik bersenjata yang belum dipastikan kapan berakhir, mendorong Yerry Elas, Tokoh Intelektual Kabupaten Puncak, angkat bicara.
Sebagai putra daerah, Yerry menyampaikan rasa prihatin dengan situasai keamanan yang terjadi di Puncak dan Intan Jaya.
Pasalnya, akibat konflik senjata sangat berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Mereka merasa tidak aman di kampung kelahiran dan terpaksa mengungsi di tempat-tempat yang dirasa aman.
Yerry mengatakan, sumber akar terjadinya konflik di Puncak dan Intan Jaya termasuk di Papua umumnya, dikarenakan kehadiran militer yang terlalu masif di semua bidang.
“Kehadiran TNI yang berlebihan membuat masyarakat Orang Asli Papua atau pribumi menjadi tidak merasa aman,” katanya dalam jumpa pers di Timika, Minggu 8 Juni 2025.
Yerry mencontohkan di bidang pendidikan, kesehatan dan di gereja dan pembangunan lainnya saat ini dikuasai oleh militer.
“Jadi semua hak-hak dasar masyarakat pribumi dikuasai. Ini jadi sumber munculnya ketidakadilan dan tidak rasa aman. Sebagai tokoh intelektual sangat prihatin situasi saat ini,” ujarnya.
Terkait dengan kondisi ini, Yerry meminta kepada Pemerintah Pusat untuk menarik kembali pasukan militer non organik dari Tanah Papua, lebih khusus di daerah yang rawan konflik.
Ia menolak pemerintah melaksanakan pembangunan dengan pendekatan militerisasi. Karena yang diterapkan bukan solusi menyelesaikan konflik, tetapi justru menambah masalah.
Kedepannya sebaiknya lebih mengedepankan pendekatan yang humanis dan kemanusiaan.
Keprihatinan serupa juga disampaikan oleh Nelson Tenbak, Tokoh Intelektual yang juga kaum milenial peduli Puncak.
Pada kesempatan yang sama, Nelson mengatakan dengan terjadinya konflik senjata ini, masyarakat sudah tidak lagi merasakan hidup aman, damai dan tenang, tetapi perasaan takut dan trauma.
“Karena semenjak terjadinya perampasan lahan, masalah konflik Papua merdeka sampai imbasnya kepada masyarakat kecil yang tidak tahu apa-apa menjadi korban,” pungkasnya.
Nelson juga menyoroti persoalan yang begitu panjang ini, pemerintah sendiri belum mampu menangani hingga tuntas.
“Sebagai tokoh intelektual Puncak berkewajiban bicara masalah ini demi kepentingan kemanusiaan pribumi,” pungkasnya.
Karena menurutnya, akibat konflik ini berdampak pada terganggunya proses pendidikan, kesehatan dan pembangunan. Bahkan untuk mereka hidup tenangpun terancam.
Disampaikan bahwa, hidup masyarakat Puncak dan Intan Jaya saat ini dalam kondisi yang tidak berdaya.
Masyarakat tidak leluasa melaksanakan aktivitas seperti berkebun, termasuk aktivitas belajar mengajar di sekolah maupun ketika hendak ke rumah sakit untuk berobat.
Menghadapi situasi ini, Nelson menghimbau dan mengajak kaum intelektual di Papua Tengah untuk duduk bersama menyamakan pikiran dan ide, mengkaji secara baik dan mendata setiap permasalahan untuk dirumuskan.
Dengan data dan hasil kajian yang telah dirumuskan secara baik selanjutnya diserahkan kepada Presiden melalui Menteri HAM, Komnasham, LBH dan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk membicarakan masalah ini secara serius.
“Kita bicara menyelesaikan persoalan ini tidak bisa hanya di Jakarta. Tapi harus dibahas dan diselesaikan di Papua,” katanya.
Nelson juga mengingatkan pemerintah untuk menarik semua pasukan militer yang ada di Puncak dan Intan Jaya atau Papua umumnya.
Hadirnya militer yang masif ditengah masyarakat, di lingkungan pemerintah, gereja, sekolah dan sektor kesehatan yang dilengkapi senjata, membuat masyarakat bertamba trauma, takut dan damai.
Ia berharap masukan-masukan yang disampaikan ini dapat didengar oleh para pengambil kebijakan untuk diputuskan demi kepentingan rasa aman dan damai bagi masyarakat pribumi.
Sementara Melianus Numang, Ketua AMKI Papua Tengah mengungkapkan, saat ini telah terjadi pelanggaran HAM berat di Intan Jaya dan Puncak.
Ia menyebutkan di Kabupaten Intan Jaya dari 18 orang korban tetapi yang teridentifikasi OPM murni hanya tiga orang sementara sisanya masyarakat biasa.
Masyarakat saat ini meninggalkan rumah dan mengungsi di ibukota kabupaten, di tempat-tempat aman termasuk ke Nabire dan di Timika.
Melianus merasa miris, terjadi penembakan dan banyak rumah warga dibakar. Karenanya saat ini masyarakat Gome dan Gome Utara mengungsi ke Ilaga.
Dikatakan, situasi yang terjadi di dua kabupaten di Papua Tengah telah mendorong banyak orang untuk membuka posko penggalangan bantuan kemanusiaan.
Namun menurutnya, sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan bantuan makanan, uang dan pakaian melainkam rasa aman.
Sebagai generasi muda Papua Tengah, terutama AMKI harus berpikir lebih yakni, melakukan gerakan sosial memprotes kebijakan negara yang tidak memihak kepada kemanusiaan pribumi.
Sebagai anak Papua harus mempertanyakan mengapa pelanggaran HAM di daerah ini terus terjadi tanpa akhir, termasuk ketidakadilan.
Melianus juga menyoroti pengiriman aparat TNI-Polri secara masif, sistimatis dan terstruktur masih berlangsung. Gereja, gedung sekolah dan balai desa sudah dikuasai militer.
“Kondisi masyarakat sangat memprihatinkan lantas hidup dalam kondisi ketakutan. Kami harus protes terhadap negara yang melakukan pendekatan militeristik,” tuturnya.
Ia mengatakan saat ini AMKI se-Papua Tengah sedang berpikir untuk melakukan mimbar bebas dalam aksi gerakan sosial memprotes kebijakan negara.
Caranya dengan mengumpulkan surat yang mengarah pada satu topik, mengapa pelanggaran HAM sejak 1963 hingga sekarang terus terjadi.
Dan meminta untuk hentikan pengiriman militer di Papua secara masif dan ketidakadilan untuk disampaikan kepada Presiden Prabowo melalui Menteri HAM di Jakarta.
Surat yang akan dilayangkan ke Presiden dengan tembusan disampaikan kepada DPRPT, MRP PT dan Gubernur Papua Tengah.
“Kita akan minta DPR PT fasilitasi untuk audiens dengan Menteri HAM. Surat protes ini akan ditulis oleh anak muda delapan kabupaten di Papua Tengah dengan cara, bahasa, versi dan gaya mereka sendiri.
Sementara topik dalam surat tersebut lebih mengerucut pada satu topik yakni tentang ketidakadilan atau pelanggaran HAM.
Ia menyebutkan berdasarkan catatan Komnasham terdapat 113 kasus pelanggaran HAM berat di Papua, namun belum ada satupun yang diselesaikan.
Dari seluruh Papua terdapat tiga daerah yang paling rentan terjadinya pelanggaran yaitu, Puncak, Intan Jaya dan Puncak Jaya.
“AMKI harus bangkit melakukan gerakan-gerakan sosial kemanusiaan memprotes kebijakan negara yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat secara menyeluruh,” tutupnya. (Redaksi)