Oleh: Gabriel Zezo Tokoh Flobamora Mimika
RAJA Ampat adalah anugerah Tuhan yang dititipkan kepada masyarakat adat Papua. Gugusan pulau kecil, laut biru jernih, dan keanekaragaman hayati yang luar biasa bukan hanya milik Indonesia, tapi warisan dunia.
Namun kini, warisan itu terancam oleh aktivitas pertambangan nikel yang mengincar pulau-pulau kecil, bahkan wilayah konservasi dan tanah adat yang selama ini dilindungi oleh hukum adat dan nilai-nilai budaya yang sakral.
Tambang di Raja Ampat bukan hanya persoalan izin, tapi persoalan nilai kehidupan.
Di sinilah hukum formal negara, kebijakan investasi, dan kepentingan pasar global diuji.
Apakah mereka sanggup menghormati bukan hanya hukum positif, tapi juga hukum adat yang hidup, budaya komunal, dan iman religius masyarakat Papua yang sangat menghormati alam?
Adat Papua: Komunal, Religius, dan Sakral
Tanah bagi masyarakat Papua bukan sekadar lahan. Ia adalah ibu. Laut bukan hanya tempat mencari ikan, tapi ruang sakral tempat berlangsungnya ritus adat, tempat leluhur dipercaya tinggal, dan tempat manusia berelasi secara spiritual dengan Sang Pencipta.
Nilai-nilai adat Papua bersifat komunal-religius, di mana alam bukan milik individu, tapi milik bersama yang dipercayakan oleh leluhur untuk dijaga.
Masyarakat tidak mengambil dari alam melebihi kebutuhannya, karena mereka percaya bahwa kerusakan alam adalah bentuk penghinaan terhadap roh nenek moyang dan kehendak Tuhan.
Dalam pandangan ini, menambang tanpa restu adat dan merusak alam adalah bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan dosa terhadap leluhur dan bentuk pengkhianatan terhadap keseimbangan kosmik.
Negara yang mengaku menghormati kebhinekaan tidak boleh membiarkan kekuatan ekonomi merusak nilai-nilai sakral ini.
Legal Tapi Tidak Adil
Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikantongi sejumlah perusahaan tambang memang mungkin sah secara administratif.
Tapi keabsahan formal tidak serta-merta berarti keadilan. Hukum yang tidak berpihak pada rakyat kecil, tidak menghormati adat, dan membiarkan alam rusak adalah hukum yang kehilangan jiwanya.
Konstitusi Indonesia sendiri mengakui keberadaan masyarakat hukum adat (Pasal 18B UUD 1945), serta menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H ayat 1).
Maka penolakan masyarakat adat terhadap tambang adalah bentuk partisipasi konstitusional yang wajib dihormati, bukan dicurigai atau direpresi.
Kita Tak Bisa Makan Nikel di Masa Depan
Nikel adalah logam strategis, tapi ia bukan sumber kehidupan.
Tidak ada yang bisa makan nikel ketika laut tercemar dan hutan hancur. Pariwisata Raja Ampat memberi kehidupan jangka panjang dan berkelanjutan bagi warga lokal, dengan tetap menjaga adat dan harmoni alam.
Sementara tambang, sekali merusak, akan meninggalkan luka permanen pada tanah, laut, dan jiwa masyarakat.
Kita harus memilih: pembangunan yang merusak atau pembangunan yang bermartabat?
Seruan untuk Negara dan Dunia
Kami tokoh Flobamora yg sudah menyatu di tanah Papua menyerukan kepada negara untuk hormatilah adat Papua bukan sebagai formalitas budaya, tapi sebagai fondasi hidup masyarakat yang harus dijaga.
Moratorium tambang di kawasan adat dan konservasi adalah langkah minimum. Lebih jauh, semua kebijakan yang menyangkut tanah adat harus dimulai dari persetujuan sejati masyarakat bukan hanya tanda tangan di atas kertas, tetapi persetujuan yang berangkat dari hati nurani dan nilai adat.
Dan kepada dunia jangan membeli logam dari tanah yang dijarah. Jangan berbangga menggunakan kendaraan listrik jika sumber bahan bakunya berasal dari penghancuran rumah adat, hutan sakral, dan laut suci.
Raja Ampat bukan tanah kosong. Ia adalah tanah adat yang hidup. Ia bukan proyek investasi. Ia adalah peradaban yang tak tergantikan. Maka jangan biarkan tambang menjadi kisah penyesalan yang datang terlambat. (Redaksi)