TIMIKA, Koranpapua.id- Aksi pembakaran oleh masyarakat Suku Mee di Kapiraya, Distrik Mimika Barat Tengah, Kabupaten Mimika, Papua Tengah dipicu oleh rasa kecewa terhadap pengusaha yang tetap melakukan aktivitas penambangan emas di Kali Ibouwo.
Padahal sebelumnya sudah ada kesepakatan yang ditetapkan dalam pertemuan bersama Anggota DPRD Kabupaten Dogiyai.
Salah satu kesepakatan pada pertemuan yang berlangsung di Balai Kampung Wakia Kapiraya tiga bulan lalu yakni, menghentikan operasi penambangan emas menggunakan alat berat.
Namun kesepakatan itu tidak dipatuhi oleh oknum pengusaha dengan tetap melaksanakan aktivitas tambang di lokasi tersebut.
Demikian pernyataan yang disampaikan Mesak Edowai, Kepala Suku Mee, Distrik Kapiraya, Kampung Mogodagi Kabupaten Dogiyai kepada koranpapua.id, Jumat 30 Agustus 2024 malam.
Dikatakan, larangan menggunakan alat berat di lokasi tambang emas, selain merusak lingkungan, masyarakat Kamoro dan Mee tidak menghendaki kekayaan alam di wilayah hak ulayat mereka dimanfaatkan oleh pengusaha ilegal dari luar Kapiraya.
Mesak juga menegaskan bahwa, masyarakat Suku Mee tidak pernah bermaksud untuk membakar beberapa unit rumah warga Kamoro di Kapiraya.
Diceritakan, awalnya Rabu 28 Agustus 2024, masyarakat yang kecewa dengan masih beroperasi alat berat di lokasi tambang emas, bermaksud hanya membakar excavator.
Namun api yang berasal dari excavator merambat ke rumah Fredikus Warawarin, Kepala Kampung Kapiraya.
Api juga merambat dan menghanguskan sejumlah rumah yang ada di sekitar rumah Fredikus.
Dikatakan bahwa, aksi pembakaran yang dilakukan masyarakat Dogiyai dan Deiyai tersebut murni menolak pengusaha ilegal dan tidak ada permasalahan dengan Kepala Kampung Kapiraya.
“Terbakarnya rumah kepala kampung dan beberapa rumah warga lain karena excavator parkir di dekat rumah mereka,” timpalnya.
Sampai dengan peristiwa pembakaran alat berat ini, masyarakat sudah berusaha mencari tahu siapa pemiliknya.
Informasi yang sampai ke masyarakat bahwa pemilik alat berat merupakan mitra kerja Kepala Kampung Wakia.
“Kami bakar alat berat ini selain sebagai penolakan juga sebagai bentuk pengusiran secara paksa terhadap pengusaha ilegal supaya keluar dari Kapiraya,” tegasnya.
Menurutnya, masyarakat Dogiyai, Deiyai dan Kamoro di Kapiraya tidak menghendaki kekayaan alam, seperti kayu, emas dan lainnya diambil dan dinikmati orang luar.
Ia berharap dengan dibakarnya alat berat ini, bisa menjadi efek jera dan tidak ada lagi pengusaha ilegal yang memaksa masuk ke lokasi tambang emas yang ada di wilayah itu.
Mesak mengakui pasca kejadian itu, ada empat anggota dengan senjata menggunakan kendaraan truk milik salah satu pengusaha kios di sekitar Kali Tuapa.
Keempat anggota yang awalnya hendak turun berburu, akhirnya berhenti memantau situasi setelah melihat banyak warga Deiyai dan Dogiyai berkumpul di Bandara Tuapa, Kampung Mogodagi.
Kepada empat anggota yang tidak disebutkan dari satuan mana, warga menyampaikan bahwa tidak akan mengganggu siapa-siapa. Warga hanya menjaga supaya tidak ada pengusaha tambang ilegal yang masuk ke Kapiraya.
Mendengar penjelasan itu, keempat anggota bersama sopir yang juga pemilik kendaraan pulang dihantar oleh warga.
“Situasi keamanan saat ini di Kapiraya sudah kondusif. Karena memang aksi pembakaran alat berat murni untuk menolak pengusaha tambang ilegal dan tidak ada tujuan lain untuk merugikan dan mengganggu masyarakat,” pungkasnya.
Ia menjelaskan, Kali Ibouwo yang menjadi lokasi tambang emas tersebut terletak berbatasan antara Kabupaten Deiyai dan Dogiyai.
Bagian bawahnya, Kampung Wakia perbatasan antara Kampung Mimika dengan Kabupaten Dogiyai dan Deiyai.
Dilihat dari peta untuk bagian laut letaknya masuk dalam tiga kabupaten, Mimika, Deiyai dan Dogiyai.
Sementara untuk titik penambangan emas saat ini di Kali Ibouwo murni masuk Kabupaten Deiyai dengan perbatasan Kabupaten Dogiyai.
Kepada masyarakat yang datang di Kapiraya, Mesak menegaskan masyarakat Suku Mee dan Kamoro tidak melarang namun harus menghargai masyarakat lokal sebagai pemilik hak ulayat.
“Kami tidak membatasi mereka datang mencari makan untuk hidup dan kami menerima mereka sebagai keluarga. Tapi kami tidak mau mereka datang untuk mengatur, menguasai harta kekayaan yang ada di atas tanah Kapiraya ini”.
Yang berhak penuh dalam mengatur, mengelola dan menambang adalah masyarakat Suku Mee dan Kamoro. Lokasi tambang yang ada di wilayah hak ulayat milik Suku Mee maka Suku Mee yang mengatur.
Begitu sebaliknya jika berada di wilayah adat Kamoro maka Suku Kamoro yang mengatur. Bukan orang lain yang datang mengatasnamakan Kamoro dan Mee untuk memanfaatkan kekayaan alam yang ada. (Redaksi)