Jakarta – Presiden Joko Widodo merestui PT Freeport untuk melanjutkan ekspor konsentrat tembaga setelah Juni 2023 mendatang. Sementara berdasarkan amanat Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), pemerintah mulai menghentikan ekspor mineral mentah, termasuk konsentrat, pada 10 Juni 2023 mendatang.
Djoko Widajatno, Plh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesian Mining Association (IMA) mengatakan, bila ekspor konsentrat tembaga dihentikan, maka bisa berpotensi terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga puluhan ribu orang.
Sebagaimana terjadi, pada tahun 2017 pemerintah juga pernah menghentikan ekspor konsentrat tembaga Freeport, yang imbasnya 33.000 karyawan dirumahkan.
Selain itu, jiak ini terjadi, akan berimbas pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Mimika yang selama ini 99 persen bergantung pada operasional Freeport Indonesia.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, bahwa perusahaan bisa kehilangan pendapatan hingga US$ 8 miliar atau sekitar Rp 120 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$) dalam setahun bila ekspor konsentrat dihentikan.
Potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi harga tembaga sebesar US$ 4,5 per pon.
“Cukup besar ya (potential loss), hitung saja kalau harganya US$ 4,5 per pon tembaga, itu revenue-nya setahun bisa US$ 8 miliar,” ungkapnya.
Arifin mengungkapkan, Pemerintah Indonesia sudah menyetujui kelanjutan ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia setelah Juni 2023 mendatang.
Pemberian izin melanjutkan ekspor ini dengan pertimbangan, salah satu karena adanya pandemi Covid-19 yang berdampak pada waktu pembangunan smelter Freeport menjadi tertunda.
Selain itu pertimbangan keadaan kahar alias force majeure pandemi Covid-19, sehingga dinilai tidak melanggar UU Minerba.
“Kita consider itu karena ada pandemi. Juni, nah ini kita sedang ya.. kalau nggak boleh ekspor gimana? Udah, boleh,” ungkapnya di Jakarta, Jumat 28 April 2023.
“Kita consider apa yang sudah terbangun dari proyeknya, dari komitmennya. Kita consider kendala yang dihadapi pembangunannya. Kan waktu Covid, dia kontraktornya Jepang. Jepang aja berapa tahun aja itu lockdown-nya. Memang pengerjaan engineering-nya agak sulit berprogres. Kalau engineering gak progres, pembelian materi procurement-nya juga nggak berprogres,” jelasnya.
Kedua, mayoritas pemegang saham PT Freeport Indonesia (PTFI) kini juga dimiliki Indonesia melalui MIND ID, Holding BUMN Pertambangan, yakni sebesar 51 persen. (redaksi)