TIMIKA, Koranpapua.id- Fenty Ajkwa Widiyawati, Direktur Utama PT Honay Ajkwa Lorents menegaskan karyawan yang nantinya direkrut bekerja di perusahaan pabrik semen dan keramik adalah 80 persen Orang Asli Papua (OAP).
Penerimaan mereka juga tanpa syarat. Penegasan ini disampaikan Fenty dalam jumpa pers di salah satu hotel di Timika, Jumat 17 Januari 2025.
Dalam jumpa pers ini Fenty didampingi Hamdani, General Manager PT Honay Ajkwa Lorents, Muhammad Irsal Arfan, Kepala Government Relationship PT Honay Ajkwa Lorents.
Hadir juga Panius Kogoya, Komisaris Utama PT Honay Ajkwa Lorents dan Melfi Dwi Andayani, Kepala Cabang PT Honay Ajkwa Lorents.
Fenty menjelaskan perekrutan tenaga kerja OAP tanpa syarat itu, yakni untuk yang berusia produktif mulai umur 17-30 tahun, baik yang memiliki ijazah sarjana, SMA, SMK maupun yang putus sekolah.
Pencari kerja OAP yang putus sekolah kata Fenty, perusahaan akan membangun kerjasama dengan beberapa lembaga untuk melanjutkan sekolah paket A, B dan C guna mendapat ijazah.
Karena dengan modal ijazah tersebut akan menjadi standar perusahaan dalam memberikan upah sesuai UMK Papua.
Selain membantu mendapatkan ijazah, pekerja OAP yang putus sekolah sebelum masuk kerja juga diberikan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat).
Ini bertujuan agar mereka dapat meningkatkan kualitas pengetahuan, skill untuk memperoleh sertifikat kompetensi.
Seluruh biaya pendidikan paket A, B dan C termasuk pendidikan dan pelatihan ditanggung 100 persen oleh perusahaan.
Mereka akan mengikuti Diklat selama 336 jam dan 200 jam sesuai program yang disiapkan perusahaan. Setelah mengikuti tahapan tersebut, otomatis sudah siap masuk dunia kerja.
“Saya tidak mau mereka diberi gaji kecil. Tapi kita ingin memanusiakan saudara-saudara kita OAP. Kalau putus sekolah kita rekrut tanpa ijazah kita mau kasih standar upahnya bagaimana?” katanya.
Ia mengungkapkan berdasarkan pengalaman hidupnya di Papua, banyak anak-anak di samping kiri dan kanan tetangga rumahnya yang putus sekolah, dengan alasan orang tua tidak mampu.
Atas kondisi ini, Fenty merasa dirinya gagal karena terlalu sibuk melakukan riset dan koordinasi dengan pemerintah sehingga lupa membantu sanak saudara yang lain.
Akibatnya tingginya angka pengangguran yang berujung pada meningkatnya kasus kriminalitas di daerah ini.
Fenty memastikan setelah pabrik ini berdiri, masyarakat OAP usia produktif yang putus sekolah di sekitar perusahaan harus mendapat kesempatan yang sama untuk bekerja.
“Jadi masalah tenaga kerja kita prioritaskan 80 persen OAP usia produktif 17-30 tahun. Di atas 30 tahun tetap kami terima tapi dengan kategori tertentu,” pungkasnya.
Kategori yang dimaksud Fenty yakni, masih sehat jasmani dan rohani tanpa ada riwayat salah satu penyakit berbahaya.
Masih bisa kooperatif untuk bekerja pada posisi yang tidak berat dan bisa diberi tanggung jawab misalnya bekerja sebagai security.
Ia menambahkan meskipun putus sekolah, namun sebelum bekerja diberikan insentif mendapat pendidikan dan pelatihan, sebagai bentuk motivasi agar lebih giat dan serius dalam bekerja.
“Anak-anak putus sekolah setelah menjalani masa pendidikan dan pelatihan harus kembali masuk kerja di pabrik semen,” ajaknya. (Redaksi)