TIMIKA, Koranpapua.id- Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko) secara tegas menolak rencana PT TAS membuka lahan perkebunan kelapa sawit di Potowayburu, Distrik Mimika Barat Jauh, Kabupaten Mimika, Papua Tengah.
Penolakan itu disampaikan Marianus Maknaepeku, Wakil Lemasko setelah mendapatkan laporan langsung dari David Uramata, Kepala Suku Kampung Aindua di Potowayburu.
David menyampaikan bahwa, manajemen PT TAS telah datang ke Potowayburu menyampaikan rencana masuknya investor untuk membuka perkebunan kelapa sawit di wilayah itu.
Masyarakat melalui kepala suku secara tegas menolak rencana itu, dan meminta dukungan kepada Lemasko untuk bersama-sama masyarakat Potowayburu menolak rencana pembukaan lahan tersebut.
“Dengan adanya informasi ini, lembaga adat akan berupaya agar rencana itu dibatalkan. Dengan tegas Lemasko bersama masyarakat menolak masuknya investor sawit di sana (Potowayburu-Red),” tegas Marianus ketika menghubungi koranpapua.id, malam ini Selasa 16 Desember 2025.
Menurut Marianus, pembukaan perkebunan sawit berpotensi merusak hutan adat, lingkungan hidup, serta mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat yang selama ini bergantung pada alam sebagai sumber penghidupan.
“Wilayah Mimika Barat Jauh adalah tanah adat yang harus dijaga. Tidak boleh ada investor yang masuk tanpa persetujuan masyarakat adat dan tanpa kajian lingkungan yang jelas dan transparan,” tegas Marianus.
Ia menilai, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa perkebunan sawit sering menimbulkan konflik sosial, perampasan hak ulayat, serta kerusakan ekosistem, sehingga pemerintah daerah harus lebih berhati-hati dalam memberikan izin.
“Seperti yang terjadi di Kampung Kamora kelapa sawit yang pernah dibuka PT PAL, toh akhirnya masyarakat yang dirugikan. Jangan lagi pengalaman pahit itu dirasakan masyarakat Potowayburu,” pungkas Marianus.
Marianus meminta Pemerintah Kabupaten Mimika, Pemerintah Provinsi Papua Tengah untuk tidak mengeluarkan izin kepada PT TAS sebelum ada dialog terbuka dengan masyarakat adat, lembaga adat, dan seluruh pemangku kepentingan terkait.
Marianus juga berharap kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua Tengah untuk berani bersuara menentang rencana pembukaan lahan sawit di Potowayburu.
Karena jika rencana ini berhasil, maka akan terjadi perampasan tanah masyarakat oleh perusahaan, wilayah Potowayburu suatu saat akan terjadi musibah banjir sebagai akibat hutan gundul.
Dikatakan, yang diharapkan masyarakat saat ini adalah masuknya perusahaan yang dapat berinvestasi penanaman kembali bibit Marbau, Matoa atau pohon sagu, sehingga dapat memberikan kehidupan buat masa depan anak cucu.
“Masyarakat butuh investasi yang tidak hanya untuk kepentingan perusahaan dan kelompok tertentu, tetapi mengorbankan masyarakat. Karena perlu dipertegas bahwa masyarakat bukan makan kelapa sawit,” tandas Marianus. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru










