TIMIKA, Koranpapua.id– Terdapat 30 peristiwa kebakaran yang terjadi di wilayah Kabupaten Mimika, Papua Tengah terhitung sejak Januari sampai September 2024.
Meski jumlah ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan tahun 2024 yang mencapai 43 peristiwa kebakaran, namun langkah-langkah pencegahan kebakaran perlu diketahui masyarakat.
Pentingnya pencegahan kebakaran ini mendorong Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mimika, untuk melakukan sosialisasi kepada perangkat kampung dari lima distrik di Kabupaten Mimika.
Sosialisasi berlangsung di gedung Bobagio Keuskupan Timika, Jalan Cenderawasih, SP2, Selasa 22 Oktober 2024.
Inosensius Yoga Pribadi, Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setda Mimika ketika membuka kegiatan itu mengatakan risiko terjadinya kebakaran di Mimika semakin besar.
Ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk Mimika yang cukup tinggi, diikuti dengan pertumbuhan satuan pemukiman yang semakin padat.
Meski secara umum, jumlah kebakaran di Mimika sampai September 2024 mengalami penurunan 13 jika dibandingkan periode yang sama tahun 2023 yang mencapai 43 kejadian, namun langkah pencegahan perlu dilakukan.
“Kejadian kebakaran di tahun 2023-2024 september mengalami penurunan dari 43 menjadi 30 kejadian, jadi turun sebanyak 13 kasus,” ujar Yoga.
Dikatakan, korsleting listrik menjadi penyebab utama kebakaran dari sebagian besar peristiwa kebakaran yang terjadi pada bangunan rumah dan pertokoan.
Hal ini merupakan tantangan, mengingat permukiman dan perumahan akan semakin padat.
Menurutnya bencana kebakaran di pemukiman padat penduduk dan kampung tidak bisa diabaikan.
Untuk itu dibutuhkan strategi penanganan dan penanggulangan, baik pasif atau aktif.
Dibutuhkan kesadaran mengenai bahaya kebakaran, mulai dari penilaian suatu sistem risiko bahaya kebakaran.
“Pencegahan kebakaran di kampung dan perkotaan yang padat dapat tercipta apabila upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran dilakukan sedini mungkin,” pungkasnya.
Yoga menuturkan, beberapa upaya pencegahan kebakaran bisa dilakukan melalui simulasi, penyuluhan, dan pelatihan bahaya kebakaran, serta menjadi anggota relawan kebakaran.
Alternatif model berbasis masyarakat yang terbaik adalah memberdayakan relawan kebakaran, mengingat program tersebut telah berjalan dan dikenal masyarakat.
Menurutnya memberdayakan relawan kebakaran lebih mudah diterima masyarakat, karena menjadi bagian program pembangunan di beberapa wilayah.
Dan tentunya penerimaan dan dukungan masyarakat yang kuat terhadap relawan kebakaran menentukan kelancaran pelaksanaan di lapangan.
Yoga berharap melalui kegiatan sosialisasi ini menjadi pembekalan yang memadai untuk para kepala distrik, kepala kampung sampai tingkat RT dan RW.
Para perangkat kampung selanjutnya dapat mengorganisir masyarakatnya untuk pencegahan dan mitigasi risiko kebakaran di wilayah masing-masing. (Redaksi)