JAKARTA-Koranpapua.id- Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengatakan, kekuatan fiskal di daerah ada yang kuat, sedang dan lemah.
Kategori lemah inilah yang paling boros menggunakan dananya untuk pegawai, mulai dari gaji, bonus hingga operasional.
Hal ini disampaikan Tito dalam Seminar Internasional Desentralisasi Fiskal 2024 di Jakarta, Selasa 24 September 2024.
Mengutip dari sejumlah sumber, pada kesempatan itu Tito kembali menyentil Pemerintah Daerah (Pemda) yang anggarannya habis untuk membayar gaji dan bonus pegawai.
Ironisnya anggaran yang digunakan merupakan hasil pemberian pemerintah pusat melalui Transfer ke Daerah (TKD).
“TKD itu uangnya dari pusat, tapi sebagian besar habis untuk belanja pegawai, gaji pegawai ditambah bonus, dan operasional pegawai,” sindir Tito.
Dikatakan, pemerintah pusat menyalurkan TKD sekitar 26-47 persen untuk wilayah yang fiskal atau pendapatan asli daerah (PAD) nya kuat.
Sebesar 52-60 persen kepada Pemda yang fiskalnya sedang. Sedangkan untuk wilayah yang fiskalnya rendah diberikan 63-90 persen.
Pemda yang menerima TKD sebesar 90 persen yang paling boros menggunakan dana untuk pegawai. Akibatnya anggaran yang diterima untuk pemanfaatan masyarakat berkurang.
“Kekuatan fiskalnya lemah ini ditandai dengan ketergantungan sangat tinggi terhadap transfer dari pemerintah pusat sampai 90 persen. Ini yang jadi problem,” imbuhnya.
Tito menegaskan, Kemendagri saat ini lagi berupaya mengubah pemikiran daerah untuk bisa lebih kreatif dan inovatif.
Ini bertujuan agar Pemda bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan tidak hanya menunggu transfer dari pemerintah pusat.
Karena menurutnya, jika PAD meningkat, otomatis fiskal Pemda bisa kuat, sehingga jika ada kendala dari pusat, Pemda tetap eksis dan berjalan seperti biasa.
Tito juga menekankan agar Pemda mengurangi belanja operasional yang tak penting seperti perjalanan dinas, rapat di hotel hingga rekrutmen pegawai, terutama honorer.
“Rapat-rapat dikurangi. Rekrutmen pegawai termasuk honorer juga dikurangi. Ganti digitalisasi,” kata Tito.
Terkait dengan pegawai honorer, Tito menyebutkan itu membuat repot karena rekrutmennya dilakukan bukan karena keahlian atau kebutuhan tapi berdasarkan rekomendasi pejabat yang terpilih.
“Honorer ini banyak, ada yang skill itu pendidikan, kesehatan, terutama, dokter, bidan. Tapi yang tenaga umum itu Tim Sukses (Timses). Mereka begitu menang yang didukung, dijadikan tenaga honorer,” sindir Tito.
Dan ketika pejabat yang membawa Timses berakhir masa kerjanya, pegawainya tidak dibawa. Lalu, pejabat baru akan membawa gerombolannya juga, sehingga terjadi penumpukan.
“Nanti kalau ganti kepala daerah, terpilih lagi, yang Timses yang lama honorer masih tetap ada. Diberhentikan marah, demo, yang tim sukses pejabat yang baru, kepala daerah baru, nambah lagi,” timpal Tito.
Karenanya, Tito berencana untuk mengatur porsi honorer di setiap Pemda. Hal ini akan dibahas bersama dengan kementerian terkait. (Redaksi)