TIMIKA, Koranpapua.id- Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko) juga dilibatkan dalam proses pembahasan penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Freeport Indonesia.
Penegasan ini disampaikan Marianus Maknaipeku, Wakil Ketua Lemasko dalam jumpa pers yang berlangsung di salah satu hotel di Timika, Senin 12 Februari 2024.
Marianus menyampaikan, hal ini perlu diluruskan terkait dengan pernyataan sejumlah pihak di media bahwa pembahasan Amdal PT Freeport Indonesia tidak melibatkan lembaga adat yang sah.
Dijelaskan, proses Amdal yang dimulai sejak tahun 2020 telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dengan peraturan ini mewajibkan Freeport untuk melibatkan masyarakat terdampak dalam konsultasi publik di tingkat kampung dan kabupaten serta rapat Komisi Penilai Amdal (KPA).
“Proses Amdal saat ini merupakan rangkaian lanjutan dari kegiatan Rapat KPA pada bulan November 2022, 13 Januari 2023 sampai dengan 19 Januari 2024 sebagaimana undangan yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” jelas Marianus.
Mantan Anggota DPRD Mimika ini menegaskan Lemasko menilai proses AMDAL Freeport yang dinisiasi oleh KLHK sudah sangat transparan dengan melibatkan masyarakat terdampak dari dua suku yaitu Amungme dan Kamoro.
Secara khusus juga menghadirkan perwakilan warga dari Lembah Amungme (Waa Banti, Tsinga, dan Aroanop) dan lima Desa Kamoro (Nawaripi, Koperapoka, Nayaro, Ayuka, dan Tipuka) serta ditambah tiga desa pesisir (Fanamo, Omawita, dan Otakwa).
Pada rapat KPA dihadiri seluruh perwakilan masyarakat, termasuk lembaga adat untuk memberikan saran dan masukan yang diharapkan dapat diakomodir oleh KLHK maupun Freeport.
Lembaga adat lanjut Marianus mengharapkan sinergitas antara pemerintah, Lemasko, dan Freeport dalam pelaksanaan program kedepan. Ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat di Kabupaten Mimika.
Marianus juga menegaskan bahwa Lemasko status badan hukum lembaga adalah perkumpulan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan.
Status badan hukum ini guna mencegah duplikasi lembaga dari pihak-pihak yang tidak berhak.
“Namun patut dicatat walaupun berstatus perkumpulan, Lemasko tetap melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan adat Suku Kamoro di Kabupaten Mimika,” katanya.
Untuk itu Marianus menghimbau kepada masyarakat untuk bersabar menunggu proses persetujuan Amdal dari KLHK.
Ia juga mengingatkan beberapa oknum untuk tidak lagi membuat pernyataan yang memprovokasi masyarakat mengenai proses Amdal yang sedang berjalan.
Gregorius Okoare, Ketua Lemasko yang juga hadir dalam jumpa pers menambahkan, Freeport dalam pembahasan Amdal sangat terbuka kepada masyarakat adat. Semua tahapan sejak awal pertemuan diikuti masyarakat terdampak.
Gery demikian biasa disapa menjelaskan pembahasan Amdal melibatkan masyarakat adat sudah dilakukan sejak 2003 lalu hingga dengan saat ini. (Redaksi)