OPINI
Oleh: Ignatius Iryanto, Dr. Ing.
Sekjend Archipelago Solidarity Foundation
Peneliti Senior pada Risk Consulting Group.
Generasi bangsa yang mengalami Reformasi 1998 yang dimotori para mahasiswa dan generasi muda waktu itu tentu tidak akan lupa, bahwa yang dilawan dan mau di reform waktu itu adalah system tatakelola negara.
System politik dari otoriter menjadi demokratis, system ekonomi dari sangat sentralististic dengan praktek praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nespotisme) dan juga system budaya dari Hegemoni tafsir atas nilai menjadi system nilai yang bersumber dari akar budaya leluhur dan juga berisifat terbuka atas pluralitas tafsir yang demokratis.
Point utamanya dalam eksekusi adalah konsolidasi demokrasi serta pencapaian tujuan negara masyarakat adil Makmur cerdas dan sehat baik. Korban berjatuhan dalam proses perjuangan tersebut. Orde baru jatuh. Gerakan reformasi menang di 1998 itu.
Bangsa Kita juga mengalami tidak mudah melakukan transisi dari pola dan tatakelola orde Baru menuju ke tatakelola yang dicita-citakan oleh reformasi. Hal ini dipersulit karena banyak juga aktor aktor Orde baru melakukan rebranding dan metamorfosa menjadi reformis dan ikut berperan dalam transisi tersebut.
Transisinya menjadi tidak lugas dan tuntas. Golkar sebagai alat politik utama dari Orde baru segera melakukan perubahan dan metamorfosa substantial dan berhasil bertahan hingga saat ini. Tidak ada tokoh orde baru, termasuk Presiden Suharto yang dihukum karena apa yang dilakukan selama orde baru.
Hanya Jenderal Prabowo yang diberhentikan dengan hormat karena kasus penculikan oleh tim mawar itu, hak hak politiknya sama sekali tidak dicabut dan Kembali tetap diterima sebagai pemain pemain elit dalam system politik pasca reformasi itu.
Kita memang bangsa pemaaf yang tanggung. Saya sebut tanggung karena sejatinya tidak ada satupun tokoh orde baru yang pernah meminta maaf ke rakyat atas dosa dosa politik dan ekonominya selama orde baru tersebut, namun rakyat sepertinya telah memaafkan mereka semua. Darah yang tertumpah, Nyawa yang melayang, ribuan yang dipenjara serta berbagai korban lainnya seolah dilupakan oleh bangsa pemaaf ini.
Namun perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki tatakelola bernegara memang dilakukan. Berbagai UU politik diperbarui, terjadi amandemen konstitusi, berbagai lembaga negara baru dibentuk termasuk berbagai komisi. Namun dalam 15 tahun pertama, belum muncul Presiden yang benar benar dimimpikan rakyat.
Presiden reformis yang benar benar menjalankan mimpi mimpi reformasi itu: Presiden yang terpilih dengan proses proses demokratis sebagai hasil dari reformasi politik yang dilakukan, serta Presiden yang dekat dengan rakyat, benar benar bekerja untuk kepentingan rakyat, jauh dari praktek KKN, mampu hidup sederhana dan bersahaja.
Figur idaman itu belum muncul lengkap selama 15 tahun setelah reformasi walupun masing masingnya mulai dari Prof Habibie, Gus Dur, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan kontribusinya, khususnya dalam proses konsolidasi demokrasi.
Walaupun demikian dalam proses pembangunan transformative yang diharapkan membawa rakyat lebih sejahtera tidak dirasakan dalam periode ini. Ke empatnya belum bisa disebut figure idaman rakyat pasca reformasi dilihat dari approval rate mereka selama menjabat, juga dari proses turunnya mereka untuk dua presiden pertama pasca Reformasi. Proses yang tidak bisa dikatakan normal.
Ketika figur Jokowi muncul di Solo lalu di DKI, orang mulai melihat secercah harapan akan figure pemimpin idaman rakyat. Harapan itu menjelma jadi harapan kaum reformis yang berkumpul menyatu dengan PDIP, yang de facto adalah partai yang menjadi pilar reformasi dan menjadi symbol dan pemicu perlawanan atas regim otoriter orde baru.
PDP kemudian yang mengusung Jokowi Bersama partai partai koalisinya sebagai Presiden, sebuah keputusan besar oleh Megawati Sukarno putri yang berhasil disadarkan oleh para pemikirnya bahwa demi kepentingan bangsa, golden ticket yang dia miliki sebaiknya diberikan kepada Jokowi.
Para professional reformis serta hampir seluruh aktivis reformis secara hampir spontan menyatu dan mendukung beliau. Jokowi lalu terpilih menjadi Presiden dalam proses pemilu yang demokratis melawan kekuatan besar dari banyak partai yang mendukung Prabowo dan Hatta Rajasa yang menjadi representasi dari koalisi partai yang berkuasa saat itu.
Prabowo menantu Suharto serta Hatta Rajasa besannya Presiden saat itu, yang didukung oleh koalisi gemuk dengan pilar utama Gerindra, Golkar dan Demokrat.
Kemenangan itu menjadi makin manis buat kaum reformis setelah Jokowi mulai bekerja, diawali dengan berbagai konsep dari tim 11, tim transisi serta berbagai masukan konstruktif dari berbagai pihak yang diekesekusi secara bijak dan berani oleh Jokowi, pak Jusuf Kalla sebagai Wapres dan teamnya.
Pada periode pertama, Ketika membantuk kabinet beliau diampingi oleh team transisi dan menyerahkan seleksi pertama ke KPK yang waktu itu dipimpin oleh Abraham Samad. KPK memberi warning tentang integritas calon calon Menteri tersebut.
Ini salah satu proses yang diappresiasi oleh rakyat waktu ini dan memberikan harapan baru akan terbentuknya pemerintah yang bersih dari KKN.
Periode pertama disambung dengan kemenangan lagi di periode kedua oleh Jokowi dan Kyai Maruf Amin. Namun peran KPK pada proses seleksi Kabinet sudah tidak ada lagi. Mungkin ini sebabnya juga mengapa di periode kedua ini, kasus korupsi membesar dan indeks persepsi korupsi kita memburuk.
Pada periode ini dunia menghadapi pandemic yang kemudian diperburuk dengan pecahnya perang Rusia Ukraina.
Namun Jokowi piawai mengelola negara dan membawa Indonesia melewati masa super sulit itu dengan sangat bagus,prestasi yang juga diakui dunia secara luas. Pada saat yang bersamaan, beliau juga memulai pembangunan di IKN, mega bahkan giga proyek yang menelan dana yang sangat besar itu.
Beliau bukan hanya piawai mengelola negara namun memiliki nyali yang jauh diatas rata rata. Ini dibuktikan dengan Langkah Langkah berani mengambil Kembali proyek proyek strategis yang dikuasai asing, seperti Freeport, Blok Rokan, blok Mahakam dll.
Langkah yang berani juga dilakukan di dalam negeri dengan membubarkan HTI da FPI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang, juga membubarkan petral sebagai jantung dari mafia migas.
Mayoritas bangsa kita puas dengan transformasi pembangunan yang dilakukan oleh presiden Jokowi dengan teamnya dan harapan akan terwujudnya negara adil dan makmur serta bermartabat di dunia di hut kemerdekaan ke 100 muncul. Ide Indonesia emas menggema dan terus menguat.
Mungkin tidak banyak yang sadar bahwa seluruh proses itu hanya dimungkinkan sebagai buah reformasi yang menjatuhkan rejim otoriter orde baru, jadi mimpi Indonesia emas itu adalah buah dari proses konsolidasi Demokrasi yang dilakukan secara bertahap.
Mulai dari Prof Habibie, Gus dur, Megawati dan juga Susilo Bambang Yudhoyono dengan sedikit catatan bahwa di era terakhir ini ruang buat Gerakan radikal yang adalah kontra produktif dengan reformasi secara keliru dibuka.
Dalam konteks konsolidasi demokrasi, era Jokowi memberikan kontribusi pada penghapusan hak hidup pada Gerakan Gerakan radikal yang sempat tumbuh di era sebelumnya.
Banyak pakar yang mengatakan bahwa Konsolidasi demokrasi Indonesia tinggal menyisakan satu tahapan lagi: penataan dan pendewasaan partai politik yang sebagai pilar demokrasi harus memiliki mekanisme internal yang juga demokratis dan mandiri.
These yang sangat optimistic meluas di seluruh Nusantara: jika pembangunan transformative era Jokowi ini dilanjutkan dengan perbaikan di beberapa aspek dan fase terakhir dari konsolidasi demokrasi kita diselesaikan, Maka MIMPI Indonesia emas pasti akan terwujud.
Nuansa optimistic itu patah dan runtuh di dua bulan terakhir ini.
Kita mengalami mimpi buruk Orde Baru Reborn dalam dua bulan terakhir ini. Indikasinya samar samar mulai Nampak:
- Skandal keputusan Mahkamah konstitusi jelas merupakan pelanggaran etika yang sistematis dan terencana dengan tujuan pemaksaan kepentingan politik. Sudah banyak anlisa dan tulisan terkait masalah ini. Gaya rule by law ala orde baru dterapkan dalam skandal ini.
- Aparat negara menjadi instrument dari kekuatan politik tertentu untuk merebut kekuasaan politik. Ini salah satu ciri yang sangat kuat dari Orde Baru. Berita pemasangan baliho dan spanduk dari pasangan capres Parabowo Gibran oleh aparat kepolisian dan satpol PP serta pencopotan baliho dari pasangan capres Ganjar Mahfud adalah instrumentalisasi aparat negara yang menjadi ciri khas Orde baru selama lebih dari 20 tahun.
- Kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat negara digunakan untuk kepentingan politik pihak tertentu. Abuse of power adalah juga menjadi ciri Orde baru. Adanya seorang Wakil Menteri yang memimpin rapat pemenangan pasangan capres tententu jelas adalah abuse of power yang juga menjadi ciri Orde baru.
- Tindakan represif terhadap aktivis mahasiswa juga menjadi ciri regim Orde baru yang terjadi lagi dalam rentang 2 bulan terakhir ini. Represi yang dialami oleh ketua BEM UI, saudara Melki Sadek dan keluarganya adalah indikasi kembalinya pola pola regim Orde baru di negeri ini.
Bagi generasi muda yang tidak mengalami regim Orde baru, perlu diperjelas bahwa 4 indikasi diatas belum menggambarkan regim Orde baru secara utuh. Orde baru jauh lebih buruk lagi, penculikan, pembunuhan, penghilangan nyawa hingga ke model model pengucilan politik, pembunuhan karakter adalah praktek praktek normal dalam implementasi kekuasaan orde baru.
Kita bersyukur bahwa Orde baru belum Kembali dengan wajah yang utuh, namun rakyat sebaiknya disadarkan bahwa harus ada Langkah yang menutup peluang wajah utuhnya Orde baru muncul Kembali di negara ini.
Dalam politik kekuasaan selalu ada dua fase utama. Fase pertama adalah fase pembentukan kekuasaan. Bung karno menyebutnya dalam ungkapan belanda: Machtformig dan kemudian fase pengaplikasian kekuasan itu, bung Karno menyebutnya Machtanwendig .
Pola yang terjadi pada fase pembentukan akan sangat memengaruhi pola kepemimpinan politik pada pada pengaplikasian kekuasaaan itu.
Jika pola pola fitnah , penyebaran hoax yang dilakukan, maka pemerintahan yang diterapkan kemudian juga tidak akan mampu menghindarkan diri dari pola pola itu, jika pola pola otoriter, abuse of power dan koruptif yang dilakukan pada fase itu, maka pola pola itu akan juga menjadi gaya pemerintahannya kelak, bahkan pasti lebih buruk.
Kita sekarang berada pada fase akhir pengaplikasian kekuasaan pemerintahan Jokowi periode 2019 – 2024 dan di fase pembentukan kekuasaan untuk Periode 2024 – 2029.
Cermati dengan baik pasangan yang ada, selain dengan prinsip Primus Interpares dan minus malum atas seluruh rekam jejak calon calon pemimpin kita, juga dengan melihat pola pola yang digunakan dalam fase pembentukan kekuasaan saat saat sekarang.
Untuk mewujudkan mimpi Indonesia Emas, kita hanya punya satu pilihan yaitu mengembalikan lagi proses konsolidasi demokrasi ke jalannya dari deviasi yang kini sudah dilakukan di akhir pemerintahan Jokowi ini agar jalan keberlanjutan pembangunan transformative dengan penguatan di beberapa aspek dapat dilakukan dalam ruang budaya demokrasi yang beradab seperti cita cita reformasi 1998.
Tidak akan ada pembangunan transformative menuju Indonesia Emas dalam ruang otoritarian.
Catatan akhir
Refleksi dari pinggiran jalan ini ingin saya akhiri dengan sedikit flashback ke era 1998. Saya waktu itu berada di Berlin bergabung dengan teman-teman disana.
Hanya mengikuti dari jauh jatuhnya keringat, darah, airmata dan nyawa teman teman di dalam negeri yang berjuang melawan orde baru saat itu walau sempat Kembali ke tanah air menjadi saksi a de charged kasus Jerman yang kemudian memenjarakan Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas.
Gerakan 98 itu diawali dengan Tindakan represi ekstrim yang memicu perlawanan mahasiswa dan para aktivis, gelombang ketidakpuasan yang membesar ke seantaro negri dan manca negara, serta bertemunya beberapa tokoh bangsa di kediaman Gus Dur di Ciganjur menyuarakan isi Nurani rakyat.
Semua itu berujung ke Gerakan ekstra konstitusional yang berdarah yang menjatuhkan orde baru.
Saat ini terindikasi pola pola orde baru diterapkan, kekecewaan rakyat serta mahasiswa mulai muncul dan secara perlahan meluas dan beberapa tokoh bangsa sudah bertemu di kediaman Gus Mus dan juga sudah menyuarakan suara Nurani rakyat.
Semua ini sebaiknya berujung pada garakan Intra konstitusional, tetap massif untuk tidak memberikan pilihan pada pasangan yang menggunakan cara cara orde baru untuk merangkak merebut kekuasaan politik.
Massif tetap perlu namun semoga tetap di jalur konstitusi secara damai. Karena basis Gerakan kita adalah kesadaran akan budaya demokrasi dan martabat bangsa bukan kemarahan atau kebencian.
Semoga Tuhan menyertai bangsa kita. Amin. (*)