Oleh: Gabriel Zezo,
Pemerhati Hukum dan Kehidupan Sosial
Tinggal di Timika, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah
BEBERAPA waktu lalu, publik kembali digemparkan oleh peristiwa pembubaran kegiatan retret keagamaan di Sukabumi, Jawa Barat.
Kegiatan ibadah yang semestinya menjadi ruang spiritual yang tenang dan penuh kedamaian, justru harus dihentikan secara paksa karena tekanan masyarakat dan intervensi aparat setempat.
Ini bukan kali pertama. Kasus seperti ini terus berulang di berbagai daerah.
Gereja yang disegel, kegiatan doa yang dihentikan, tempat ibadah yang dibakar atau ditolak kehadirannya.
Semua ini terjadi di negeri yang katanya berdasarkan Pancasila, yang mengusung Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Lalu kita harus bertanya: apakah rakyat Indonesia sudah benar-benar merdeka dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan?
Hak Konstitusional yang Kerap Dilanggar
Konstitusi Republik Indonesia sejatinya telah memberikan jaminan yang sangat jelas mengenai kebebasan beragama.
Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Sementara Pasal 29 ayat (2) menegaskan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dua pasal ini seharusnya menjadi tameng hukum yang kokoh bagi setiap warga negara dalam menjalankan ibadah.
Namun, sayangnya, dalam praktik, jaminan ini sering kali tidak memiliki daya laksana, tetapi justru yang sering terjadi adalah pembiaran terhadap pelanggaran, bahkan justifikasi terhadap tindakan intoleran.
Ketika negara membiarkan warga negara dikebiri haknya oleh tekanan masyarakat atau kelompok tertentu, maka yang tercederai bukan hanya martabat individu, tetapi juga kredibilitas negara hukum itu sendiri.
Negara Tak Boleh Netral Saat Hak Rakyat Dilanggar
Salah satu kesalahan fatal yang kerap terjadi adalah pemahaman bahwa negara harus bersikap “netral” dalam konflik antarwarga soal keyakinan.
Padahal, dalam konteks hak asasi manusia, negara tidak boleh netral terhadap ketidakadilan.
Ketika kelompok intoleran menekan, memprovokasi, dan mengintimidasi, maka negara wajib berpihak pada yang tertindas, bukan mendiamkan atau malah ikut menyudutkan.
Sayangnya, pembubaran kegiatan retret seperti yang terjadi di Sukabumi sering kali terjadi atas dalih ‘untuk mencegah konflik, tidak ada izin warga, atau tidak sesuai prosedur’.
Padahal, kegiatan ibadah tidak bisa dijadikan objek perizinan oleh mayoritas lokal. Ibadah adalah hak yang melekat, bukan pemberian masyarakat sekitar.
Lebih dari itu, membiarkan masyarakat mayoritas menentukan boleh atau tidaknya kelompok minoritas beribadah, sama saja dengan membangun sistem demokrasi tirani dimana yang kuat dan banyak boleh menekan yang sedikit dan lemah.
Luka Sosial yang Terus Menganga
Dampak dari pembiaran pelanggaran ini tidak hanya bersifat hukum, tapi juga sosial dan psikologis. Masyarakat minoritas merasa terasing di negerinya sendiri.
Mereka menjadi ‘tamu’ di tempat yang seharusnya menjadi rumah.
Mereka harus diam, tunduk, dan sering kali berpura-pura demi hidup damai.
Generasi muda yang tumbuh dalam iklim seperti ini akan menyerap nilai bahwa kekerasan dan tekanan bisa dibenarkan asal atas nama mayoritas.
Bahwa ketenangan lebih penting dari keadilan. Bahwa tidak semua orang setara di depan hukum dan negara.
Jika ini terus dibiarkan, maka benih-benih perpecahan akan tumbuh dengan subur.
Kita bisa kehilangan kepercayaan antarwarga, kehilangan ruang dialog, bahkan kehilangan dasar persatuan.
Menguji Janji Persatuan
Pertanyaan besar yang layak kita renungkan bersama: Bagaimana mungkin negara ini bersatu, jika negara tidak mampu menjamin hak dasar warganya?
Persatuan bukanlah slogan kosong. Ia tidak bisa ditegakkan hanya dengan simbol dan upacara.
Persatuan adalah buah dari keadilan. Dan keadilan dimulai dari perlindungan yang setara tanpa melihat agama, suku, atau jumlah pemeluk.
Kita tidak bisa berharap Indonesia kokoh jika minoritas terus ditekan, suara-suara perbedaan terus dibungkam, dan negara terus gagal bertindak.
Negara tidak boleh hanya menjadi penonton, apalagi menjadi fasilitator ketakutan atas nama kerukunan.
Saatnya Negara Bersikap Tegas
Sudah saatnya negara berdiri tegak. Ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil:
- Tegakkan hukum secara adil, tanpa memihak tekanan Ormas atau kelompok mayoritas.
- Revisi regulasi diskriminatif, seperti SKB 2 Menteri dan aturan pendirian rumah ibadah yang justru sering jadi alat untuk menolak keberadaan minoritas.
- Perkuat pendidikan toleransi, dari sekolah hingga rumah ibadah.
- Berikan perlindungan nyata kepada minoritas, dengan hadirnya negara di setiap kejadian intoleransi secara cepat dan tegas.
- Tindak pelaku intoleransi secara hukum, jangan hanya lewat mediasi atau pendekatan sosial semata.
Jangan Lagi Diam
Masyarakat sipil, tokoh agama, pendidik, dan media massa memiliki peran penting.
Diam dalam menghadapi ketidakadilan adalah bentuk lain dari persetujuan.
Jika kita ingin Indonesia tetap berdiri sebagai negara majemuk, maka kita harus mulai bicara, menulis, dan melawan dengan cara damai dan bermartabat.
Karena jika hari ini kita diam saat kelompok lain ditindas, siapa yang akan membela kita saat giliran kita yang tertindas?
Retret yang dibubarkan di Sukabumi hanyalah satu cerita dari sekian banyak kisah luka atas nama agama.
Tetapi ia juga bisa menjadi titik balik, jika kita menjadikannya sebagai alarm moral bahwa negara ini sedang dalam bahaya kehilangan jati dirinya sebagai rumah bagi semua.
Maka mari kita ingatkan bersama: kebebasan beragama bukanlah hadiah, melainkan hak.
Dan hak itu, jika tidak diperjuangkan, akan hilang pelan-pelan diganti oleh ketakutan, diam, dan kepura-puraan yang kita wariskan kepada anak cucu. (Redaksi)