ADVERTISEMENT
Selasa, Juli 8, 2025
Koran Papua
No Result
View All Result
  • Papua
  • Nusantara
  • Politik
  • Budaya
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Kesehatan
  • Opini
  • Pendidikan
  • Foto
Koran Papua
No Result
View All Result
  • Papua
  • Nusantara
  • Politik
  • Budaya
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Kesehatan
  • Opini
  • Pendidikan
  • Foto
ADVERTISEMENT
Home Agama

Retret yang Dibubarkan: Luka Lama Kebebasan Beragama di Negeri Pancasila

Kita tidak bisa berharap Indonesia kokoh jika minoritas terus ditekan, suara-suara perbedaan terus dibungkam, dan negara terus gagal bertindak.

7 Juli 2025
0
Retret yang Dibubarkan: Luka Lama Kebebasan Beragama di Negeri Pancasila

Gabriel Zezo. (foto:ist/koranpapua.id)

Bagikan ke FacebookBagikan ke XBagikan ke WhatsApp

Oleh: Gabriel Zezo,

Pemerhati Hukum dan Kehidupan Sosial

ADVERTISEMENT

Tinggal di Timika, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah

Advertisement. Scroll to continue reading.

BEBERAPA waktu lalu, publik kembali digemparkan oleh peristiwa pembubaran kegiatan retret keagamaan di Sukabumi, Jawa Barat.

Baca Juga

Aksi Teror Pembakaran Kantor Distrik dan Rumah Bupati di Puncak, Brigjen Faizal Sebut Bagian dari Propaganda KKB

Pemkab Mimika Ajukan Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Dinas PUPR ke BKN

Kegiatan ibadah yang semestinya menjadi ruang spiritual yang tenang dan penuh kedamaian, justru harus dihentikan secara paksa karena tekanan masyarakat dan intervensi aparat setempat.

Ini bukan kali pertama. Kasus seperti ini terus berulang di berbagai daerah.

Gereja yang disegel, kegiatan doa yang dihentikan, tempat ibadah yang dibakar atau ditolak kehadirannya.

Semua ini terjadi di negeri yang katanya berdasarkan Pancasila, yang mengusung Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Lalu kita harus bertanya: apakah rakyat Indonesia sudah benar-benar merdeka dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan?

Hak Konstitusional yang Kerap Dilanggar

Konstitusi Republik Indonesia sejatinya telah memberikan jaminan yang sangat jelas mengenai kebebasan beragama.

Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.

Sementara Pasal 29 ayat (2) menegaskan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dua pasal ini seharusnya menjadi tameng hukum yang kokoh bagi setiap warga negara dalam menjalankan ibadah.

Namun, sayangnya, dalam praktik, jaminan ini sering kali tidak memiliki daya laksana, tetapi justru yang sering terjadi adalah pembiaran terhadap pelanggaran, bahkan justifikasi terhadap tindakan intoleran.

Ketika negara membiarkan warga negara dikebiri haknya oleh tekanan masyarakat atau kelompok tertentu, maka yang tercederai bukan hanya martabat individu, tetapi juga kredibilitas negara hukum itu sendiri.

Negara Tak Boleh Netral Saat Hak Rakyat Dilanggar

Salah satu kesalahan fatal yang kerap terjadi adalah pemahaman bahwa negara harus bersikap “netral” dalam konflik antarwarga soal keyakinan.

Padahal, dalam konteks hak asasi manusia, negara tidak boleh netral terhadap ketidakadilan.

Ketika kelompok intoleran menekan, memprovokasi, dan mengintimidasi, maka negara wajib berpihak pada yang tertindas, bukan mendiamkan atau malah ikut menyudutkan.

Sayangnya, pembubaran kegiatan retret seperti yang terjadi di Sukabumi sering kali terjadi atas dalih ‘untuk mencegah konflik, tidak ada izin warga, atau tidak sesuai prosedur’.

Padahal, kegiatan ibadah tidak bisa dijadikan objek perizinan oleh mayoritas lokal. Ibadah adalah hak yang melekat, bukan pemberian masyarakat sekitar.

Lebih dari itu, membiarkan masyarakat mayoritas menentukan boleh atau tidaknya kelompok minoritas beribadah, sama saja dengan membangun sistem demokrasi tirani dimana yang kuat dan banyak boleh menekan yang sedikit dan lemah.

Luka Sosial yang Terus Menganga

Dampak dari pembiaran pelanggaran ini tidak hanya bersifat hukum, tapi juga sosial dan psikologis. Masyarakat minoritas merasa terasing di negerinya sendiri.

Mereka menjadi ‘tamu’ di tempat yang seharusnya menjadi rumah.

Mereka harus diam, tunduk, dan sering kali berpura-pura demi hidup damai.

Generasi muda yang tumbuh dalam iklim seperti ini akan menyerap nilai bahwa kekerasan dan tekanan bisa dibenarkan asal atas nama mayoritas.

Bahwa ketenangan lebih penting dari keadilan. Bahwa tidak semua orang setara di depan hukum dan negara.

Jika ini terus dibiarkan, maka benih-benih perpecahan akan tumbuh dengan subur.

Kita bisa kehilangan kepercayaan antarwarga, kehilangan ruang dialog, bahkan kehilangan dasar persatuan.

Menguji Janji Persatuan

Pertanyaan besar yang layak kita renungkan bersama: Bagaimana mungkin negara ini bersatu, jika negara tidak mampu menjamin hak dasar warganya?

Persatuan bukanlah slogan kosong. Ia tidak bisa ditegakkan hanya dengan simbol dan upacara.

Persatuan adalah buah dari keadilan. Dan keadilan dimulai dari perlindungan yang setara tanpa melihat agama, suku, atau jumlah pemeluk.

Kita tidak bisa berharap Indonesia kokoh jika minoritas terus ditekan, suara-suara perbedaan terus dibungkam, dan negara terus gagal bertindak.

Negara tidak boleh hanya menjadi penonton, apalagi menjadi fasilitator ketakutan atas nama kerukunan.

Saatnya Negara Bersikap Tegas

Sudah saatnya negara berdiri tegak. Ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil:

  1. Tegakkan hukum secara adil, tanpa memihak tekanan Ormas atau kelompok mayoritas.
  2. Revisi regulasi diskriminatif, seperti SKB 2 Menteri dan aturan pendirian rumah ibadah yang justru sering jadi alat untuk menolak keberadaan minoritas.
  3. Perkuat pendidikan toleransi, dari sekolah hingga rumah ibadah.
  4. Berikan perlindungan nyata kepada minoritas, dengan hadirnya negara di setiap kejadian intoleransi secara cepat dan tegas.
  5. Tindak pelaku intoleransi secara hukum, jangan hanya lewat mediasi atau pendekatan sosial semata.

Jangan Lagi Diam

Masyarakat sipil, tokoh agama, pendidik, dan media massa memiliki peran penting.

Diam dalam menghadapi ketidakadilan adalah bentuk lain dari persetujuan.

Jika kita ingin Indonesia tetap berdiri sebagai negara majemuk, maka kita harus mulai bicara, menulis, dan melawan dengan cara damai dan bermartabat.

Karena jika hari ini kita diam saat kelompok lain ditindas, siapa yang akan membela kita saat giliran kita yang tertindas?

Retret yang dibubarkan di Sukabumi hanyalah satu cerita dari sekian banyak kisah luka atas nama agama.

Tetapi ia juga bisa menjadi titik balik, jika kita menjadikannya sebagai alarm moral bahwa negara ini sedang dalam bahaya kehilangan jati dirinya sebagai rumah bagi semua.

Maka mari kita ingatkan bersama: kebebasan beragama bukanlah hadiah, melainkan hak.

Dan hak itu, jika tidak diperjuangkan, akan hilang pelan-pelan diganti oleh ketakutan, diam, dan kepura-puraan yang kita wariskan kepada anak cucu. (Redaksi)

I am raw html block.
Click edit button to change this html

Cek juga berita-berita Koranpapua.id di Google News

Baca Artikel Lainnya

Konsep Otomatis

Aksi Teror Pembakaran Kantor Distrik dan Rumah Bupati di Puncak, Brigjen Faizal Sebut Bagian dari Propaganda KKB

8 Juli 2025
Tumpang Tindih Fungsi dan Kewenangan, Bupati Johannes Rettob akan Lakukan Restrukturisasi Sejumlah OPD

Pemkab Mimika Ajukan Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Dinas PUPR ke BKN

8 Juli 2025
Mimika Siap Luncurkan 132 Koperasi Merah Putih, Perdana di Papua Tengah

Mimika Siap Luncurkan 132 Koperasi Merah Putih, Perdana di Papua Tengah

8 Juli 2025
Dinkes Mimika Pastikan ‘Obat Biru’ Kembali Tersedia di Awal Juli 2025

Kadinkes Reynold Ubra: Bukan Hanya Obat, Kesadaran Lingkungan Jadi Kunci Hadapi Malaria di Mimika

8 Juli 2025
Perpanjangan IUPK Freeport Tidak Setimpal yang Didapat Indonesia

Tiga Warga Ditembak Aparat di Area Freeport, Ini Penjelasan Kombes Irwan Yuli Prasetyo

8 Juli 2025
Di Pelantikan Pj Gubernur Papua, Mendagri Kembali Singgung Ekonomi Papua Tengah -25,5 Persen, Uangnya Disimpan di Bank

Di Pelantikan Pj Gubernur Papua, Mendagri Kembali Singgung Ekonomi Papua Tengah -25,5 Persen, Uangnya Disimpan di Bank

8 Juli 2025

POPULER

  • Konsep Otomatis

    Kursi Sekda Mimika ‘Panas’, Siapa Penerus Petrus Yumte? Ini Tanggapan Bupati Johannes Rettob

    1981 shares
    Bagikan 792 Tweet 495
  • Cukup Misteri, Ratusan Miliar Dana Desa di Kabupaten Mimika ‘Menguap’

    1465 shares
    Bagikan 586 Tweet 366
  • Kembali Soroti Anjoknya Penyerapan Anggaran di Papua Tengah, Mendagri: Disebabkan Gubernur Berencana Ganti Kepala Dinas

    922 shares
    Bagikan 369 Tweet 231
  • Nasib 18 Tenaga Kesehatan di Mimika ‘Tidak Pasti’, Dua Tahun Belum Terima SK PPPK

    892 shares
    Bagikan 357 Tweet 223
  • Tumpang Tindih Fungsi dan Kewenangan, Bupati Johannes Rettob akan Lakukan Restrukturisasi Sejumlah OPD

    723 shares
    Bagikan 289 Tweet 181
  • Masa Jabatan Kepala Kampung di Mimika akan Dievaluasi, Ketahuan Selewengkan Dana Kampung Langsung Dicopot

    702 shares
    Bagikan 281 Tweet 176
  • Buntut YGH Meninggal Dunia, Warga Blokir Jalan C Heatubun Minta Ganti Rugi Rp1 Miliar

    657 shares
    Bagikan 263 Tweet 164
Next Post
Bantah Sebby Sambom, Puspen TNI: Tidak Benar Guru dan Nakes yang Diserang di Yahukimo Terafiliasi Militer

Bantah Sebby Sambom, Puspen TNI: Tidak Benar Guru dan Nakes yang Diserang di Yahukimo Terafiliasi Militer

Di Pelantikan Pj Gubernur Papua, Mendagri Kembali Singgung Ekonomi Papua Tengah -25,5 Persen, Uangnya Disimpan di Bank

Di Pelantikan Pj Gubernur Papua, Mendagri Kembali Singgung Ekonomi Papua Tengah -25,5 Persen, Uangnya Disimpan di Bank

Perpanjangan IUPK Freeport Tidak Setimpal yang Didapat Indonesia

Tiga Warga Ditembak Aparat di Area Freeport, Ini Penjelasan Kombes Irwan Yuli Prasetyo

Koran Papua

© 2024 Koranpapua.id

Menu

  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber

Ikuti Kami

No Result
View All Result
  • Papua
  • Nusantara
  • Politik
  • Budaya
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Kesehatan
  • Opini
  • Pendidikan
  • Foto

© 2024 Koranpapua.id