TIMIKA, Koranpapua.id– Berita media pagi ini “Kisah Pilu Gadis NTT di Timika, dari Jerat Kerja Paksa Hingga Tuduhan Mistik, Kini Berjuang di Jalur Hukum”, cukup menggelitik warga Diaspora Flobamora di Kabupaten Mimika, Papua Tengah.
Gabriel Zezo, Tokoh Masyarakat yang juga Wakil Ketua Ikatan Keluarga Flobamora (IKF) Kabupaten Mimika, akhirnya angkat bicara terkait kasus yang kini dialami oleh tiga gadis asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.
Menurut Gabriel, ketiga gadis remaja itu telah menjadi korban penipuan kerja, eksploitasi, dan pelecehan martabat.
Pasalnya, mereka dijanjikan pekerjaan layak dengan gaji Rp3 juta, namun kenyataannya hanya digaji separuh dari janji itu.
Mereka malah dipekerjakan hingga 16 jam per hari, dan bahkan dua diantaranya saat direkrut masih berstatus anak di bawah umur.
Lebih parah lagi, salah satu dari mereka dituduh mencuri emas hanya berdasarkan keterangan dari seorang paranormal, tanpa bukti hukum dan kemudian dipaksa bekerja dua tahun tanpa kejelasan.
Sebagai warga Flobamora, ini adalah tamparan terhadap harga diri dan martabat kolektif.
Budaya orang Flores, Sumba, Timor, dan Alor menjunjung tinggi nilai kejujuran, kerja keras, dan penghormatan terhadap sesama.
Perlakuan terhadap tiga anak gadis muda ini adalah bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai luhur, karenanya harus ditindak tegas.
Gabriel menyampaikan sudut pandang hukum, kasus ini memenuhi sejumlah unsur tindak pidana serius, antara lain:
- Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO, pelaku yang merekrut dengan janji palsu untuk tujuan eksploitasi dapat dihukum penjara maksimal 15 tahun.
Fakta bahwa korban dijanjikan gaji tinggi namun dieksploitasi membuktikan adanya unsur penipuan dan eksploitasi.
- Pelanggaran Ketenagakerjaan
Mengacu pada Pasal 77 dan 78 UU No. 13 Tahun 2003, jam kerja melebihi delapan jam tanpa upah lembur dan pemotongan gaji tanpa persetujuan melanggar hak-hak pekerja.
Bahkan, mempekerjakan anak di bawah umur tanpa perlindungan khusus adalah pelanggaran berat sesuai Pasal 68 UU yang sama.
- Eksploitasi Anak
Dua korban adalah anak-anak ketika direkrut, yang berarti pelaku juga melanggar Pasal 76I UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang melarang eksploitasi ekonomi terhadap anak.
- Pencemaran Nama Baik dan Kriminalisasi
Tuduhan pencurian emas tanpa bukti hukum yang sah, apalagi hanya berdasarkan keterangan dukun, adalah bentuk kriminalisasi dan pelanggaran terhadap asas hukum pidana.
Terkait dengan ini, komunitas Flobamora Mimika menyerukan dan mendesak agar kasus ini diusut tuntas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Kapolres Mimika dan aparat penegak hukum agar menindak para pelaku secara serius, bukan hanya sebagai pelanggaran biasa, tetapi sebagai tindak pidana berat dan pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Gabriel.
Pemerintah daerah, Dinas Tenaga Kerja, serta lembaga perlindungan anak agar terlibat aktif dalam proses pemulihan psikologis, hukum, dan sosial para korban.
Seluruh komunitas Flobamora di perantauan agar mempererat solidaritas dan lebih waspada terhadap modus-modus kerja ilegal yang menjerat saudara-saudari kita dari kampung.
“Kami tegaskan bahwa ini bukan sekadar kasus hukum, ini adalah soal harga diri dan martabat komunitas Flobamora. Jangan biarkan kejadian seperti ini terulang, apalagi dibiarkan tanpa keadilan,” tandasnya.
Gabriel mengajak kepada semua warga Flobamora Mimika untuk bersatu dalam duka, dan juga lebih bersatu dalam perjuangan untuk suatu kebenaran dan keadilan. (*)
Penulis: Abdul Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen L.L Moru