TIMIKA, Koranpapua.id- Proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota sudah memasuki tahap pendaftaran bakal calon.
Sesuai jadwal yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahapan pendaftaran dilakukan serentak di seluruh Indonesia, terhitung hari ini Selasa 27 Agustus sampai Kamis 29 Agustus 2024.
Namun ditengah situasi ini muncul dinamika, adanya aksi penolakan terhadap John Wempi Watipo (JWW) yang akan maju sebagai calon Gubernur Papua Tengah.
Seperti disampaikan Melianus Numang, Ketua Angkatan Muda Kemah Injil (AMKI) Provinsi Papua Tengah.
Menurutnya, aksi penolakan terhadap JWW dua hari belakangan yang viral di media sosial dan grup-grup whatsapp bukan karena masyarakat tidak menyukainya.
Tetapi dengan kehadirannya dalam kontestasi politik di Papua Tengah justru telah menimbulkan kegelisahan hati, pikiran dan perasaan masyarakat di delapan kabupaten di Papua Tengah.
Melianus mengungkapkan, JWW maju mencalonkan diri sebagai Gubernur Papua Tengah secara konstitusional dibenarkan dan sebagai anak bangsa mempunyai hak dipilih dan memilih.
Namun menjadi persoalannya, dengan JWW maju mencalonkan diri di Papua Tengah sebenarnya bentuk perampasan hak-hak politik anak-anak Papua Tengah di delapan kabupaten.
“Saya katakan ini, sebenarnya di Papua Tengah saat ini sudah banyak kader pemimpin untuk pimpin Papua Tengah dan tidak butuh calon pemimpin dari wilayah Papua lain,” kata Melianus dalam keterangan tertulisnya yang diterima koranpapua.id, Selasa 27 Agustus 2024.
Melianus menegaskan Papua Tengah saat ini menjadi gudang pemimpin masa depan. Sebab ada pemimpin yang pernah menjabat bupati satu periode dan dua periode.
Ada juga figur yang sudah pernah menjabat Sekda dan kaum profesional yang sudah sangat siap memimpin masyarakat di delapan kabupaten.
“Jadi kalau pa JWW dipaksakan oleh negara atau atas niat sendiri maju Gubernur Papua Tengah, saya mau katakan ini bagian dari pengkianatan terhadap para tokoh dan figur intelektual di Papua Tengah,” kritiknya.
Dengan majunya JWW sesungguhnya negara hendak menunjukan bahwa kader pemimpin yang ada di Papua Tengah tidak mampu mengelola Daerah Otonomi Baru (DOB) ini. Sehingga harus ada pemimpin yang turun dari atas.
Ia menjelaskan pada awalnya Pemerintah Pusat hanya mensahkan dua DOB yakni Papua induk dan Papua Barat.
Namun untuk kepentingan pemerataan pembangunan serta mendekatkan pelayanan di bidang pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan budaya, pemerintah memekarkan kembali empat DOB yakni Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan dan Papua Barat Daya.
Ini semua sudah melewati tahapan pemetaan sesuai masing-masing wilayahnya. Adanya pemetaan wilayah ini maka pemerintah memberikan kesempatan biarkan masyarakat Papua Tengah memimpin wilayahnya di Papua Tengah.
“Semua sudah diberikan porsinya masing-masing. Jadi kita di Papua Tengah ini banyak calon pemimpin yang siap menjalankan amanat rakyat,” katanya.
Melianus menyatakan AMKI sangat mendukung 100 persen jika JWW maju di Provinsi Papua Pegunungan.
Sesama Anak Papua Harus Bersatu
Sementara Daniel Womsiwor, Kepala Adat/Suku Masyarakat Biak Barat Swandiwe di Tanah Tabi mengungkapkan, JWW adalah mantan pejabat publik yang dipercayakan rakyat Wamena sendiri sebagai bupati dua periode.
Setelah sukses menjalankan amanat rakyat sepuluh tahun di Wamena, JWW kemudian dipercayakan lagi oleh negara menjabat Wakil Menteri di dua lembaga negara berbeda yakni Wamen Kementerian PUPR dan Kemendagri.
“Filosofi suku-suku di Papua itu biasanya yang menjadi bupati sudah secara adat diakui sebagai pemimpin besar (Kepala Suku Besar). Apalagi sampai dipercayakan oleh negara sebagai wakil menteri,” tulis Daniel dalam rilisnya kepada koranpapua.id, Selasa 27 Agustus 2024.
Daniel berpendapat, sebenarnya dari adat dan agama, JWW sudah otomatis layak maju sebagai calon gubernur untuk memimpin wilayahnya.
Karena ia sendiri sudah sangat matang dalam hal memimpin sebagai anak adat, anak Tuhan (Gereja) serta anak bangsa.
“Sisi inilah yang menurut saya pak JWW sangat siap sebagai gubernur, apalagi beliau sebagai Wamen di RI sangat memahami sistem pemerintahan di tingkat pusat sampai daerah,” paparnya.
Bahkan JWW sangat dipercaya negara, sehingga kalau terpilih sebagai gubernur maka akan memberikan keuntungan tersendiri bagi daerah yang dipimpinnya.
Adanya aksi penolakan ini, Daniel menduga sebenarnya karena sangat menyangkut kepentingan pribadi para lawan politik yang notabene adalah sesama OAP dan kepentingan partai dan golongan.
Lainnya berhubungan masalah-masalah sosial politik yang timbul di masyarakat yang dicurigai melibatkan anak-anak Papua yang bekerja di pemerintah.
Membuat seakan-akan ada keterlibatan dari orang Papua yang tidak diketahui masyarakat, kemudian dijadikan isu politik untuk saling memojokkan demi merebut jabatan.
“Hal-hal seperti inilah yang mungkin kita sebagai sesama anak Papua harus duduk bersama, berdoa bersama-sama dan sepakat untuk sama-sama maju sebagai calon tanpa ada saling cemburu,” sarannya.
Dengan demikian siapapun yang nanti terpilih, dia itulah yang dipercaya sebagi gubernur untuk melaksanakan perintah Tuhan dan kehendak rakyat di Tanah ini.
Kepada para kandidat, ia menyarankan agar segera bersatu sebagai anak adat. Datang duduk dan bicara secara adat dan berdoa bersama, dengan pimpinan gereja atau Ketua Sinode jangan saling sikut menyikut.
Minta kepada Tuhan agar para calon yang terpilih nanti betul-betul anak-anak yang memiliki roh takut akan Tuhan bukan takut orang pusat atau takut partai.
Sebagai anak Papua, Daniel sangat sedih melihat pemekaran ini menjadi lahan perebutan kekuasaan untuk kepentingan dan golongan atau partai.
“Tanah ini milik Tuhan dan Tuhan yang menanam kita manusia hitam keriting untuk memelihara dan mengusahakannya,” katanya.
Ia sangat percaya para kandidat itu berasal dari anak adat dan gereja di Tanah Papua, maka siapapun yang terpilih, ia akan memimpin Papua ini dengan sukacita dan damai sejahtera.
“Akan tetapi jika kita awali dengan saling membenci, dengki, dendam serta iri hati, percayalah kita akan gagal membangun bangsa kita sendiri dan justru tanah ini akan menjadi berkat bagi bangsa lain yang hidup di tanah ini,” pesannya.
Aksi Penolakan Tidak Mewakili Masyarakat Papua Tengah
Sementara Ustadz Ismail Asso, Tokoh Muslim Papua mengungkapkan sebagai bagian dari demokrasi, aksi penolakan oleh sebagian mahasiswa dan tokoh intelektual Suku Mepago dianggap wajar dan tidak masalah.
Itu sebagai bagian dari dinamika sosial politik. Mengingat Papua sebagai bagian dari proses demokrasi Indonesia, menganut demokrasi Pancasila berkarakter lokalitas Ke-Indonesia-an yang titik penekanannya musyawarah untuk mufakat.
Demokrasi Pancasila mempunyai ciri yakni musyawarah dan mufakat. Sebagai ciri kekhasan lokalitas demokrasi Indonesia. Demikian demokrasi yang berlaku dan diberlakukan di Papua juga punya ciri kekhasan nilai-nilai lokalitas Papua.
Namun Papua dan Indonesia sebagai sebuah nation mempunyai ciri lokalitas yang harus dihargai karena dianut mayoritas rakyat.
Menurutnya, aksi penolakanJWW yang maju kandidat Calon Gubernur Papua Tengah mengikuti asas demokrasi yang menjadi hak warga Papua Tengah wilayah adat suku Mepago.
“Menolak, tapi jika penolakan itu datangnya segelintir orang bukan suara mayoritas rakyat Papua Tengah, maka JWW tetap maju dan berhak jadi Gubernur di wilayah adat Mepago,” jelas Ismail dalam keterangannya yang diterima media ini, Selasa 27 Agustus 2024.
Ismail menegaskan sepanjang UU Otsus tidak melarang dan mengatur sesama orang asli Papua, maka JWW mempunyai hak maju di Papua Tengah dan berkewajiban memajukan pembangunan di wilayah Mepago.
Untuk menentukan JWW dipilih atau ditolak rakyat Papua Tengah dapat dilihat dari hasil suara pada pemilihan tanggal 27 November 2024.
“Jika JWW terpilih dan dipilih oleh suara mayoritas warga Papua Tengah maka suara penolakan tetap dan berhak menolak tapi tak mewakili seluruh rakyat Papua Tengah,” tandasnya.
Selain itu katanya, Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Tengah sebagai lembaga representasi kultural rakyat Papua terdiri dari unsur adat, agama, dan perempuan diberi wewenang oleh UU Otsus memverifikasi calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Apakah Orang Asli Papua atau bukan dan tidak sampai ketingkat verifikasi calon dari suku apa dan wilayah adat mana.
Tapi secara tegas calon Orang Asli Papua tidak terbatas pada tujuh wilayah adat. Sebaliknya selama dirinya Orang Asli Papua berhak maju sebagai calon kepala daerah di enam provinsi di tanah Papua.
Ismail mengungkapkan sebagai sebuah negara demokrasi aspirasi suara penolakan dan penerimaan adalah sesuatu hal yang wajar terlepas dari pandangan positif negatif.
Dalam negara demokrasi suara menolak atau mendukung sebagai bagian dari check and balance. Dan itu pertanda bahwa proses demokrasi sedang berjalan.
“Kita hormati suara penolakan itu tanpa menafikan bahwa suara mendukung lebih besar dari suara penolakan,” pungkasnya. (Redaksi)