TIMIKA, Koranpapua.id– Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mimika, Papua Tengah melakukan Sosialisasi dan Internalisasi Penyusunan Kajian Risiko Bencana untuk lima tahun kedepan 2025-2029, Selasa 28 Mei 2024.
BPBD Mimika menghadirkan lima tenaga ahli sebagai pemateri dalam sosialisasi itu.
Kelima pemateri tersebut, tiga dari Provinsi Papua, masing-masing Agesinggamui, David Bawias selaku Supervisior External Pusdalops dan Jonatan Koirewoa selaku Manajer Pusdalops.
Kemudian dua orang lainnya atas nama Dino Andalananto, Manajer Pusdalops BPBD Provinsi Jawa Timur bersama stafnya Ibni Abdilah Sobri.
Johannes Rettob, Plt Bupati Mimika dalam sambutannya yang dibacakan Robert Kambu, Asisten I Setda Mimika mengatakan, melihat ancaman yang melingkari wilayah Indonesia diharapkan adanya peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam menghadapi bencana.
Berdasarkan penelitian di Jepang mengungkap fakta dominan dalam mengurangi risiko yang ditimbulkan dari kejadian bencana.
Terutama gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, kebakaran hutan dan lahan.
Kejadian bencana ini sangat berkaitan erat dengan peran lintas sektor antar instansi/lembaga terkait baik pemerintah, sektor swasta, NGO.
“Karenanya keterlibatan lintas sektor menjadi pemegang peran yang sangat strategis dalam kegiatan kebencanaan,” ujarnya.
Pengurangan risiko bencana merupakan satu isu pembangunan cukup rumit. Dalam menangani kerumitan tersebut perlu dilakukan upaya-upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB).
Dikatakan negara-negara anggota dewan sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi tahun 1999/63 menghimbau pemerintah untuk membangun dan menguatkan platform-platform multi sektor.
Ini bertujuan untuk mengurangi risiko bencana demi mencapai sasaran dan tujuan pembangunan yang berkelanjutan, dengan secara penuh dan memanfaatkan cara-cara ilmiah maupun teknis.
Kabupaten Mimika adalah kawasan yang mempunyai potensi ancaman bencana yang cukup kompleks dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit.
Menurutnya, kejadian-kejadian bencana memberikan pengaruh negatif kepada pemerintahan maupun kehidupan masyarakat.
“Dampak negatif dan kerugian yang ada pada dasarnya dapat dikurangi apabila kita memiliki data dan analisa yang memadai,” tandasnya.
Dalam hal pengkajian risiko bencana maka kita berkumpul bersama untuk menyusun kajian risiko bencana (KRB) di Kabupaten Mimika yang kita cintai ini.
Diharapkan melalui penyusunan kajian risiko bencana dapat mengetahui potensi ancaman bencana yang ada di wilayah Mimika.
Dengan demikian mampu melakukan penanganan yang cepat, tepat serta terarah melalui kolaborasi antar lintas sektor OPD, sehingga dapat menekan jumlah korban dan kerugiannya.
Agesinggamui selaku tenaga ahli dari BPBD Papua dalam materinya menegaskan, menangani musibah bencana membutuhkan keterlibatan semua pihak.
Karena menurutnya, penanganan masalah bencana tidak bisa dikerjakan secara sendiri oleh BPBD.
David Bawias, Supervisior External Pusdalops Papua menjelaskan dokumen kajian resiko bencana daerah, menjadi urusan wajib bagi pemerintah daerah untuk menyusunnya.
Penyusunan dokumen ini kata David sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007.
“Untuk rincinya bisa dilihat di pasal 35 dan 36 kemudian Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan tentang standar pelayanan minimal (SPM) penanggulangan bencana yang dipertegas dengan Permendagri 59 tahun 2007 tentang penerapan SPM,” jelasnya.
Ia menegaskan dokumen kajian risiko bencana ini ibaratnya kitab suci. Semua berkolerasi dengan apa yang ada di dalam perencanaan pembangunan tata ruang wilayah yang disusun oleh Bappeda berlaku selama lima tahun.
“Dokumen ini bisa diperbaharui karena berisikan peta. Jadi penyusunannya bukan hanya menghasilkan dokumen narasi tapi akan ada peta tematik, peta ancaman bencana. Memuat semua ancaman bencana yang ada di kabupaten,” paparnya.
David menjelaskan peta kerentanan ini dilihat dari lima aspek kehidupan yakni, manusia, lingkungan, ekonomi infrastruktur dan sosial budaya.
Dengan dokumen ini bisa menghitung nilai kerugian ekonomi. Selain itu ada peta kapasitas peta untuk melihat bagaimana para pihak di kabupaten ini untuk mengetahui kapasitas terjadi bencana.
Ia menegaskan hampir seluruh wilayah di Indonesia belum mempunyai dokumen ini. Dengan dokumen ini pemerintah daerah sudah mengetahui titik-titik yang mempunya risiko tinggi terhadap gempa bumi.
“Resikonya ada rendah dan ada yang sedang kemudian ada yang berat,” jelasnya. (Redaksi)