Oleh: Gabriel Zezo, Ketua Flobamora Mimika
KONFLIK saudara di Distrik Kwamki Narama, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, sudah berlangsung dua bulan setelah pecah awal Oktober 2025 lalu.
Konflik ini bukan sekadar peristiwa baku panah yang berulang, tetapi bisa menjadi tragedi kemanusiaan yang terus menggerus masa depan generasi Papua.
Ketika yang saling melukai adalah saudara sendiri, maka setiap panah yang dilepaskan sebenarnya menancap di tubuh sebuah komunitas yang sama.
Melukai identitas kolektif, merobek jaringan sosial, dan menyisakan dendam panjang yang tak kunjung menemukan ujung.
Pertanyaannya: bisakah konflik ini berakhir?
Jawabannya ya, tetapi tidak dengan cara yang selama ini ditempuh. Pengamanan sesaat tanpa pemulihan sosial hanya memadamkan api di permukaan, sementara bara dendam tetap menyala di bawah.
Konflik tidak lahir dari ruang hampa, ia tumbuh dari absennya keadilan, ketimpangan sosial, minimnya kehadiran negara, dan runtuhnya mekanisme adat yang dulu menjadi ruang mediasi paling efektif.
Selama akar masalah ini tidak disentuh, maka baku panah akan kembali menjadi “ritual” kekerasan yang terus direproduksi.
Lalu, apakah setiap nyawa bisa dibayar dengan uang?
Mengganti korban dengan sejumlah uang, sebagaimana sering terjadi dalam praktik penyelesaian sementara, bukan hanya mereduksi nilai kemanusiaan, tetapi juga menormalisasi kekerasan sebagai sebuah transaksi.
Uang mungkin bisa meredam kemarahan seketika, tetapi tidak dapat memulihkan trauma, tidak dapat menghidupkan kembali orang yang meninggal, dan tidak dapat membangun budaya damai.
Restitusi materi tanpa rekonsiliasi sosial ibarat menutup luka dalam dengan plester tipis pasti akan terbuka kembali.
Dimana hukum positif?
Pertanyaan ini keras sekaligus menyakitkan. Hukum hadir, tetapi sering kali tidak bekerja.
Atau bekerja secara prosedural tanpa menyentuh konteks sosial budaya masyarakat setempat.
Negara tidak cukup hanya mengirim aparat keamanan, negara harus hadir dengan pendekatan yang adil, konsisten, dan menghormati struktur adat.
Hukum negara dan hukum adat seharusnya tidak saling meniadakan, tetapi saling menguatkan.
Ketika pelaku kekerasan dibiarkan, ketika senjata tradisional digunakan untuk saling menghabisi tanpa konsekuensi hukum yang jelas, maka negara tidak hanya absen ia kehilangan wibawa.
Solusi tidak boleh lagi setengah hati
- Mediasi adat yang diperkuat negara, bukan sekadar seremonial setelah konflik terjadi.
- Pemulihan sosial berbasis komunitas terapi trauma, dialog lintas kelompok, dan rekonstruksi kepercayaan.
- Penegakan hukum yang tegas dan transparan, tanpa pandang bulu, tanpa kompromi politik lokal.
- Penyelesaian akar struktural: ketimpangan ekonomi, akses pendidikan, marginalisasi politik.
Konflik Kwamki Narama bukan takdir. Ia adalah hasil dari serangkaian kelalaian, pembiaran, dan ketidakseriusan. Karena itu, ia juga bisa diakhiri dengan keseriusan yang setara.
Yang dipertaruhkan bukan hanya nyawa hari ini, tetapi masa depan sebuah generasi. Dan tidak ada harga yang pantas untuk itu. (Redaksi)










