Tragedi ini seharusnya menggugah nurani kita semua bahwa kerja bukan sekadar mencari nafkah, melainkan hak untuk hidup dengan martabat.
Oleh: Gabriel Zezo
KABAR DUKA kembali datang dari dataran tinggi Mimika. Lima orang pekerja kontraktor WNI dan 2 orang WNA ditemukan meninggal dunia akibat longsor di area tambang PT Freeport Indonesia.
Mereka bukan eksekutif, bukan pemegang saham melainkan tenaga kerja yang setiap hari mempertaruhkan nyawa di bawah tanah untuk menopang industri raksasa tambang emas dan tembaga itu.
Kematian mereka bukan sekadar statistik kecelakaan kerja. Di baliknya, tersimpan pertanyaan besar tentang bagaimana negara memaknai kemanusiaan dan keadilan sosial dalam sistem ketenagakerjaan yang kini semakin timpang.
Sisi Gelap di Balik Sistem Kontrak
Dalam praktik industri tambang, banyak pekerja direkrut bukan secara langsung oleh perusahaan utama, melainkan melalui kontraktor atau pihak ketiga (outsourcing).
Sistem ini memang dilegalkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja, namun hanya untuk pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan inti bisnis perusahaan.
Sayangnya, di lapangan, ketentuan ini sering diselewengkan. Banyak kontraktor justru mengerjakan pekerjaan inti seperti pengeboran, pengangkutan, atau pemeliharaan area tambang.
Dalam skema ini, para pekerja kontrak bekerja dalam risiko yang sama, tapi menerima upah jauh lebih kecil, tanpa jaminan kerja yang pasti, dan sering kali tanpa perlindungan sosial yang memadai.
Pihak perusahaan utama berdalih efisiensi, sementara kontraktor mengambil keuntungan dari selisih upah pekerja. Akibatnya, nilai kemanusiaan berubah menjadi angka dalam neraca laba rugi.
Perspektif Hukum dan HAM
Padahal, Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jelas melarang penggunaan tenaga alih daya untuk pekerjaan inti perusahaan.
Bila perusahaan melanggar, maka hubungan kerja antara pekerja kontrak dan perusahaan pemberi kerja dapat dianggap beralih langsung kepada perusahaan utama.
Lebih dari itu, praktik pengurangan hak pekerja dan kelalaian terhadap keselamatan kerja bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pasal 38–40 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak dan imbalan yang adil.
Apabila pekerja meninggal karena kelalaian keselamatan kerja, maka tanggung jawab hukum bisa menjerat kontraktor maupun perusahaan utama berdasarkan Pasal 359 KUHP “Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia…”.
Dengan demikian, tragedi longsor di area tambang Freeport tidak bisa dianggap sekadar “musibah alam”, tetapi harus dilihat sebagai indikasi kelalaian sistemik dalam perlindungan keselamatan dan keadilan bagi pekerja.
Pancasila dan Nurani yang Diuji
Dalam Pancasila, sila kedua berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dan sila kelima menegaskan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Kedua nilai ini menuntut agar manusia siapa pun dia, apa pun pekerjaannya tidak diperlakukan sebagai alat produksi, melainkan sebagai pribadi yang bermartabat.
Namun realitas di tambang besar seperti Freeport justru memperlihatkan paradoks.
Di atas tanah yang kaya sumber daya, rakyat kecil bekerja keras, sebagian bahkan kehilangan nyawa, sementara kesejahteraan mereka masih jauh dari adil.
Kemanusiaan menjadi mahal ketika keselamatan dipandang sebagai biaya, bukan kewajiban moral.
Tanggung Jawab Negara dan Jalan Perubahan
Negara wajib hadir bukan hanya sebagai pengatur undang-undang, tetapi juga sebagai penegak moral publik.
Pengawasan terhadap sistem outsourcing harus diperketat, terutama di sektor berisiko tinggi seperti pertambangan.
Setiap korban kecelakaan kerja harus mendapatkan keadilan bukan hanya dalam bentuk santunan, dan ucapa belasungkawa tetapi juga pertanggungjawaban hukum bagi pihak yang lalai.
Pemerintah daerah, serikat pekerja, dan masyarakat sipil harus bersatu menuntut agar “nilai manusia” tidak dikorbankan demi “nilai ekonomi”.
Tujuh nyawa 5 WNI dan 2 WNA telah hilang di perut bumi Mimika meninggalkan luka keluarganya.
Mereka mungkin tidak dikenal publik, tetapi jasanya menyalakan cahaya di rumah-rumah kita, menggerakkan mesin ekonomi bangsa.
Tragedi ini seharusnya menggugah nurani kita semua bahwa kerja bukan sekadar mencari nafkah, melainkan hak untuk hidup dengan martabat. (Redaksi)