Oleh: Gabriel Zezo
Pemerhati Sosial, Tinggal di Timika, Papua Tengah
SETIAP TAHUN, 17 Agustus dirayakan dengan gegap gempita. Bendera dikibarkan, pidato kemerdekaan disampaikan, dan lagu-lagu Nasional bergema dari kota hingga kampung.
Namun di balik euforia itu, masih tersimpan kenyataan getir, Orang Asli Papua (OAP) belum benar-benar merdeka. Mereka masih menjadi penonton di tanahnya sendiri.
Merdeka bukan sekadar upacara, bukan pula simbol. Merdeka adalah ketika setiap anak Papua bisa bersekolah tanpa harus menempuh perjalanan berjam-jam.
Merdeka adalah saat tak ada lagi orang tua yang kehilangan anak karena gizi buruk atau minimnya layanan medis.
Merdeka adalah ketika OAP hidup tanpa ketakutan, tanpa tekanan, dan tanpa diskriminasi.
Selama itu belum terjadi, maka kemerdekaan masih jauh dari kenyataan.
Ironisnya, Papua adalah salah satu wilayah terkaya di Indonesia dari sisi sumber daya alam.
Emas, tembaga, kayu, laut, dan kekayaan tambang lainnya mengalir keluar dari bumi Cenderawasih setiap hari menjadi penopang perekonomian nasional.
Freeport, LNG, dan perusahaan besar lainnya beroperasi dengan segala kemegahan, tapi rakyat asli Papua masih hidup dalam kemiskinan.
Mereka yang seharusnya menikmati hasil tanahnya sendiri justru menjadi korban dari eksploitasi dan ketidakadilan struktural.
Sudah puluhan tahun Papua memberi untuk Indonesia.
Namun apa yang kembali ke rakyat Papua? Banyak kampung masih terisolasi tanpa listrik, air bersih, atau akses transportasi.
Pendidikan tertinggal, pelayanan kesehatan terbatas, dan pengangguran di kalangan pemuda Papua terus meningkat.
Di tengah kekayaan alam yang melimpah, OAP justru merasakan pahitnya kemiskinan dan ketertinggalan.
Ini adalah paradoks yang menyakitkan.
Situasi ini bukan sekadar kegagalan pembangunan, tapi juga pengingkaran terhadap hak konstitusional OAP sebagai warga negara.
Negara hadir dengan proyek-proyek besar, tapi absen dalam menjamin keadilan sosial.
Dana otonomi khusus mengalir, tetapi birokrasi yang korup dan sistem yang timpang membuat manfaatnya tidak merata.
Yang kuat terus menguasai, yang lemah terus tersingkir. Papua tidak butuh belas kasihan. Papua menuntut keadilan.
Sudah saatnya negara berhenti melihat Papua sebagai wilayah terjauh yang perlu “ditolong”.
Jika negara masih mengatakan Papua adalah bagian sah dari republik ini, maka OAP berhak menikmati kesejahteraan setara dengan warga di Jakarta, Surabaya, Bandung atau kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Tidak ada lagi alasan untuk membiarkan ketimpangan ini terus berlangsung.
Selama OAP masih hidup dalam ketakutan, masih kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan, dan tidak diberi ruang untuk menjadi tuan di tanah sendiri, maka kemerdekaan itu hanya ilusi.
Merdeka adalah ketika OAP berdiri tegak, hidup layak, dan memiliki kontrol atas kekayaan yang diwariskan leluhurnya.
Indonesia boleh merayakan kemerdekaan setiap tahun, tapi Papua belum. Karena kemerdekaan sejati adalah ketika setiap anak Papua bisa berkata: “Ini tanahku, ini hakku, dan aku ikut menentukan masa depanku.” (Redaksi)