TIMIKA, Koranpapua.id- Prosesi pentahbisan Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA selama tiga hari berlangsung meriah dan sukses.
Seperti diketahui proses pentahbisan Uskup Bernardus dimulai dengan ibadah Vesper Agung tanggal 13 Mei, Ekaristi Pentahbisan Uskup tanggal 14 Mei dan Misa Episkopal (misa perdana Uskup) tanggal 15 Mei 2025.
Memiliki Uskup baru pengganti mendiang uskup Timika pertama Mgr. John Philip Saklil, dirayakan dengan penuh sukacita oleh seluruh umat Katolik di wilayah Keuskupan Timika yang mencangkup dua provinsi dan 13 kabupaten.
Namun dibalik sukacita itu, ada pesan menarik yang disampaikan Mgr. Yanuarius Theofilus Matopai You dalam homilinya pada acara pentahbisan Uskup Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA di Gereja Ketedral Tiga Raja, Rabu 14 Mei 2025.
Mgr. Yanuarius yang merupakan Orang Asli Papua (OAP) pertama menjadi Uskup itu mengatakan, pentahbisan Uskup Timika merupakan tanda bahwa Allah telah mengabulkan doa umatnya.
Selama lima tahun tujuh bulan, umat merindukan seorang pemimpin gembala untuk memimpin Keuskupan Timika setelah mendiang Uskup Philip Saklil, wafat.
“Saya katakan Mgr Bernardus adalah putra Papua kedua yang akan menerima tahbisan sebagai Uskup. Hari ini kita menyaksikan Uskup sebagai gembala terpilih memimpin umat Keuskupan Timika,” ujarnya.
Kaum miskin dan terpinggirkan menjadi tantangan utama Keuskupan Timika dalam mengemban tugas gembala umat dan gereja.
Dinamika sosial yang kompleks di pedalaman dengan memperhatikan budaya dan alam di Papua Tengah.
“Saat ini banyak fenomena di Papua Tengah tidak selalu dalam keadaan baik baik saja. Wilayah ini dikenal dengan konflik dan kekacauan sosial di Mimika dan sekitarnya,” ungkapnya.
Keuskupan Timika harus terbuka dengan melakukan dialog dengan gereja dan umat dari agama lain.
Gereja juga harus menyerukan Papua tanah damai, berdialog dengan pemerintah, kaum intelektual, tokoh-tokoh adat, perusahaan.
Termasuk dengan berbagai lembaga kemanusiaan, agar dapat menghasilkan nilai-nilai Injili, keadilan, perdamaian, solidaritas, dan kesejahteraan bersama.
Dialog dengan pihak militer Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) juga menjadi langkah penting dalam mewujudkan Papua tanah damai.
“Mengupayakan rekonsiliasi dan keadilan bagi seluruh masyarakat dan gereja harus berpihak kepada kaum pribumi yang miskin dan tertindas,” pungkasnya. (Redaksi)