Oleh: RD. Stefanus Wolo Itu
BULAN Mei 2018 saya pergi ke Aachen-Jerman. Perjalanan dengan kereta api Eiken-Aachen ditempuh dalam enam jam. Saya kesana untuk bertemu Uskup Vinsensius Sensi Potokota.
Beliau diundang oleh pimpinan konggregasi Sang Timur untuk menghadiri Beatifikasi Clara Frey, pendiri Ordo mereka. Ordo Sang Timur juga bekerja wilayah di Keuskupan Agung Ende.
Beberapa bulan sebelumnya Uskup Sensi mengirim pesan singkat. “Stefan dan Luis, bulan Mei saya akan berada di Aachen beberapa hari. Bila tidak sibuk kita bertemu di sana. Kita berbagi suka duka karya dan studimu. Saya pasti sangat senang”. Saya dan Luis menyanggupi permintaan Uskup Sensi.
Kami berdua pernah bersama di Wolotopo Ende, bulan Maret 2006 – Desember 2009. Awal Januari 2010, RD. Luis menuju Keuskupan Wina Austria.
Dia tinggal dan bekerja di paroki sambil melanjutkan studi katekese di Universitas Wina. Bulan Pebruari 2013 saya menyusul RD. Luis ke benua biru.
Saya bermisi di Swiss, tetangga Austria. Meski bekerja di dua negara berbeda, kami tetap dekat dan akrab seperti di Wolotopo.
Kami berdua menginap di apartemen komunitas CIJ Aachen. Sr. Leny, Sr. Yohana dan Sr. Sebastiana menerima kami dengan sukacita.
Mereka baru tiga bulan di Aachen dan sedang mengikuti kursus bahasa Jerman. Mereka mulai berbicara bahasa Jerman. Meski dialek Bajawa, Sumba dan Manggarai masih kental.
Saya menganjurkan Uskup Sensi untuk mengunjungi Misereor. Misereor adalah lembaga donor internasional yang berjasa membangun gereja-gereja lokal Flores.
Mereka juga membantu gereja-gereja di dunia ketiga lainnya. Misereor bermitra mendukung pemberdayaan masyarakat miskin, pendidikan, advokasi keadilan sosial dan ekologi.
“Apakah Stefan kenal orang dari Misereor” tanya Uskup Sensi. “Saya tidak mengenal mereka Bapak Uskup. Tapi saya kenal orang yang bisa menghantar kita kesana. Dia sudah masuk “barisan orang dalam”.
Orang Manggarai bilang “Ata One”. Orang itu anak bimbingan bapak Uskup saat tahun rohani di Lela: Max Regus. Saat ini Max mengambil program doktor di Belanda.
Kampusnya bergengsi, sama dengan almarhum Frans Seda yaitu Universitas Tilburg”.
Uskup Sensi sangat senang. Beliau meminta saya segera menghubungi Max dan mengirim nomor WA-nya. Saya mengontak Max. Dia sangat antusias. Dia berjanji untuk bertemu dan membantu Uskup Sensi.
“Aehhh Eja-Kae. Untuk yang jenis ini, kita siap “melengkung atau meluncur” ke Aachen. Bos datang nich. Kita harus dampingi. Saya akan segera kontak bos Misereor, khususnya Desk Asia-Pasifick”, jawab Max.
Max menepati janjinya. Sore setelah misa beatifikasi Clara Fey, kami berkumpul di apartemen para suster CIJ. Letaknya tigaratusan meter dari Katedral Aachen. Jam 17.00 kami berempat berbagi pengalaman.
Sementara Sr. Leny, Yohana dan Sebastiana menyediakan santapan malam bersama. Ketika mendengar Max terpilih jadi Uskup Labuan Bajo, Sr. Leny dan Yohana bersukacita.
“Kami bangga, komunitas kecil kami pernah dikunjungi dua Uskup: Alm. Mgr. Sensi dan Mgr. Max Regus”.
Dalam sharing itu bermunculan aneka gagasan. Yang menguat adalah “fund raising” untuk mendukung karya pastoral kita, pengiriman misionaris Fidei Donum dan studi lanjut para imam.
Salah satu peluang adalah membuka akses jaringan ke Misereor, lembaga-lembaga donor lain dan beberapa keuskupan metropolitan di Eropa. Obrolan kami asyik, bersaudara dan saling menguatkan.
Keesokan harinya jam 09.00 kami bertiga menggantar Uskup Sensi ke kantor Misereor. Di sana Uskup Sensi langsung diterima Bernhard, Direktur Misereor Asia Pasifik.
(Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu di Papua). Obrolan mereka rupanya seru. Hampir dua jam. Kami bertiga tunggu di Pendopo, minum kopi sambil berbagi pengalaman dan gagasan.
Luis dan saya coba menggali informasi dari Max Regus. Bagaimana dia mengenal Misereor? Apakah Misereor membantu studi doktoratnya di Tilburg?
Apakah komisi-komisi pastoral keuskupan Ruteng yang pernah dipimpin Max mendapat dukungan finansial Misereor? Max coba mengisahkan suka duka perjuangannya.
“Program doktorat membutuhkan banyak uang. Perlu sponsor membantu biaya. Saya menulis surat kemana-mana, termasuk ke Amerika. Tapi Misereor Aachen yang siap membantu. Tentu saya harus memenuhi sejumlah tuntutan. Kita membangun relasi dan merawatnya”.
“Tidak hanya sampai di situ. Kita harus menjaga kepercayaan donatur melalui laporan perkembangan studi dan laporan keuangan. Selama di Ruteng saya pernah memimpin komisi yang berbeda. Saya mendapat bantuan dari Misereor dan Kirche ini Not”.
Kuncinya kita menggunakan keuangan secara bertanggungjawab dan membuat laporan teratur. Jangan lupa bukti-bukti pembelanjaan dan foto-foto kegiatan proyek.
Untuk sebuah pekerjaan besar kita perlu kerja Team. Kita membangun Networking atau kerja berjejaring.
“Secara individu kita adalah satu tetes. Tapi bersama-sama kita adalah lautan”, kata penulis Jepang Ryunosuke Satoro (1892-1927). Saya ingat tulisan menarik di kantor Misereor Aachen.
“Wir können die Welt zum Guten verändern. Aber niemand kann das allein. Wenn wir Seite an Seite stehen, uns gegenseitig unterstützen, stärken und ergänzen, machen wir es möglich – mit Menschen.
Artinya kita bisa mengubah dunia menjadi lebih baik. Tapi tak seorangpun yang bisa melakukannya sendiri. Jika kita berdiri berdampingan, mendukung, memperkuat dan melengkapi satu sama lain, kita mewujudkannya – bersama orang lain.
Tapi semua itu tidak cukup. Kesuksesan tidak hanya dengan kerja otak dan tangan. Tapi juga kerja rohani dan spiritual. Kita belajar sambil “melengkungkan” badan.
“Kita juga harus berdoa, berlutut di depan Tuhan dan merayakan ekaristi. Saya juga mengunjungi kubur-kubur para misionaris. Secara khusus para almarhum P. Leo Perik SVD, pendiri Seminari Kisol. Saya minta bantuan doa mereka”, demikian pengakuan tulus Max.
Setelah pertemuan kami menuju Restaurant China dekat stasiun kereta api Aachen. Kami ingin makan siang di sana. Dalam perjalanan, Uskup Sensi menceriterakan pertemuannya dengan bos Misereor.
Wajah Uskup Sensi berseri. Max berkomentar: “Kami lihat Bapak Uskup wajah ceria eee. Pasti ada tanda-tanda baik ke depan. Misereor mendukung karya kita”.
“Ya, mudah-mudahan. Kita harus melewati proses dan mengikuti tuntutan mereka. Intinya harus bisa bekerja dan mempertanggungjawabkan bantuan yang mereka berikan, demikian harapan Uskup Sensi.
Uskup Sensi menuturkan, para penerima bantuan masih menyisahan “hutang laporan pertanggungjawaban” dari masa lalu.
Beberapa meter memasuki restaurant, tiba tiba medali skapulir Max jatuh dari sakunya. Skapulir itu memiliki dua sisi.
Satu sisi gambar Yesus dan hatiNya yang Mahakudus. Sisi lainnya gambar Bunda Maria. Sambil tersenyum Uskup Sensi berkomentar: “Aee, Max, deras eee”. “Kae punya cara lengkung itu sejak dulu tidak berubah. Deras betul eeee”, sambung Luis.
Max tertawa terbahak-bahak. Sambil berpaling pada saya ia berkomentar: “Aehhh, Eja-Kae jangan komentar lagi eee”.
“Saya kagum mendengar sharingmu di apartemen CIJ dan pendopo Misereor. Devosimu luar biasa. Jatuhnya skapulir di depan Uskup Sensi membuka tabir kesalehanmu.
Ada tanda-tanda jadi Uskup. Uskup yang saleh dan bernyali membaca peluang positif”, canda saya mengakhiri percakapan itu. Bersambung!
Kirchgasse 4, 5074
Eiken AG Swiss, Minggu Malam, 23 Juni 2024. (**)