“tulisan kedua dari 4 tulisan”
PILPRES kali ini adalah Pilpres yang sangat istimewa bagi bangsa Indonesia karena beberapa alasan.
Pertama, karena seperti sudah diuraikan di artikel sebelumnya kini kita memiliki tiga capres yang merupakan kader-kader terbaik bangsa ini.
Kedua, karena presiden yang kita pilih dalam Pilpres kali ini akan memimpin Indonesia memasuki gerbang emas menuju Indonesia Emas di tahun 2045, di HUT kemerdekaan yang ke 100 dimana mimpi para pendiri bangsa tentang Indonesia yang modern, beradab, berkeadilan dan makmur merata untuk seluruh rakyat Indonesia Insya Allah akan bisa terwujud.
Ketiga, adalah bahwa sampai dengan detik ini dimana masa kampanye sudah memasuki bulan terakhir kita tidak mengalami segregasi sosial yang tajam seperti dua Pilpres sebelumnya di 2014 dan 2019 dimana isu-isu identitas dalam istilah kadrun, cebong dan kampret sempat berhasil membelah seluruh masyarakat kita.
Rakyat memasuki hari pencoblosan dengan nuansa yang tidak damai, tidak riang bahkan ada nuansa saling benci antar bangsa. Saat ini publik dipenuhi dengan pembahasan mengenai gagasan para Capres dan Cawapres (Paslon), isi debat Paslon dengan berbagai kritik dan dukungan yang juga ramai dan seru namun tidak muncul isu etnis, agama, kadrun dan cebong, kampret dll.
Alasan ketiga inilah yang menurut penulis adalah hal yang amat sangat patut kita syukuri sebagai bangsa. Ada penata skenario yang sangat cermat dan arief melakukan rekayasa sosial sehingga suasana ini terwujud nyata serta juga dalam kacamata bangsa yang beriman, kita yakin bahwa memang negeri dan bangsa ini telah dijaga oleh Tuhan yang maha kasih serta leluhur Nusantara yang sakti mandraguna.
Suasana damai, riang dan tanpa kebencian ini yang harus selalu kita jaga hingga hari pencoblosan di 14 Februari nanti, bahkan hingga hari pelantikan Presiden baru kita di bulan Oktober 2024 itu.
Hanya dengan itulah, pasangan terbaik yang telah kita pilih di tanggal 14 Februari itu, nanti dapat bekerja dengan penuh optimisme dan dapat dengan tenang dan suasana konstruktif dan damai dapat merealisasikan visi dan misi yang telah disusun.
Serta mulai mengimplementasikan berbagai program yang telah disusun, menuju Indonesia Emas 2045 nanti. Fakta bonus demography akan mewujud dan dibawah pimpinan beliau berdua, bangsa kita akan buktikan apakah bonus demography tersebut merupakan rahmat buat bangsa atau malah kutukan buat bangsa kita.
Bagaimana menjaga suasana damai, riang dan tanpa kebencian tersebut ? Opini penulis dibawah ini adalah opini yang datang dari common sense belaka tidak berdasarkan suatu anasisa sosial, apalagi psikososial yang valid.
Akan sangat menarik dan bermanfaat jika bisa dikemukakan oleh rekan-rekan dan para senior yang ahli dibidang tersebut. Berikut beberapa hal yang datang dari common sense dan sedikit pengalaman sosial, yang sebaiknya dijadikan pegangan agar suasana tersebut dapat tetap terjaga:
- Tidak memilih berdasarkan faktor emosional.
Unsur yang dominan adalah aspek-aspek yang mempengaruhi emosi seperti unsur-unsur fisik, figure, ketampanan, kejantanan, kemudaan, gerakan-gerakan yang serasi serta gimmick yang menimbulkan rasa suka.
Itu adalah faktor-faktor emosional yang bisa memancing emosi-emosi lainnya seperti kebencian maupun cinta. Segregasi yang terjadi di tahun 2014 dan 2019 itu muncul karena faktor-faktor emosional yang lebih muncul secara dominan walaupun entry pointnya adalah identitas.
Dari sisi lain, faktor pendorong untuk memilih juga selayaknya tidak didasarkan pada kebencian atas Capres atau Paslon lainnya.
- Tidak memilih berdasarkan identitas.
Tidak memilih berdasarkan suku, agama, keturunan. Bukan karena suku, agama dan keturunan itu salah namun lebih karena pemilihan karena suku, agama, keturunan itu sangat mudah memancing emosi.
Karena siapapun biasanya sangat sensitive jika suku dan agamanya disinggung, khususnya oleh rekan yang berbeda pilihan dengannya.
Identitas juga akan sangat mudah memancing reaksi emosional yang bersifat masif. Apalagi dalam konstitusi kita, suku, agama dan keturunan bangsa apapun, sepanjang sudah menjadi warga negara Indonesia dan sah menjadi Capres, memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih.
Jadi seruan untuk tidak memilih beradasarkan identitas ini lebih karena faktor emosional yang sangat mudah terpicu jika identitas menjadi tema perdebatan publik.
- Tidak memilih karena dibayar.
Ini level yang paling rendah dari tingkat kesadaran politik warga negara. Berapapun uang yang diterima tidak akan sebanding dengan pertaruhan nasib bangsa ke depan, jika pilihan itu salah.
Pasangan yang membayar rakyat untuk memilih mereka pasti bukan merupakan pasangan yang terbaik. Karena dari awal, sebelum dipilih mereka telah merendahkan martabat rakyatnya.
Suara rakyat mau dibeli dengan kekuatan uang mereka. Ini pasti bukan merupakan Paslon terbaik. Adalah juga fakta bahwa memang rakyat lagi susah dan uang sejumlah berapapun sangat bermanfaat buat rakyat yang menerima.
Ini sangat dipahami namun tidak bisa dijadikan alasan bahwa adalah sah membeli suara rakyat dengan uang receh dibandingkan dengan nasib bangsa seluruhnya.
Rekomendasinya adalah terimalah uang yang diberikan namun pastikan jangan memilih Paslon itu karena dari awal motivasinya sudah sangat buruk dan tidak bermoral.
Dia pasti bukan merupakan Paslon terbaik, siapapun Paslon yang membagi-bagikan uang receh tersebut dan dimanapun uang itu dibagikan. Paslon yang melakukan hal ini pasti merupakan Paslon yang tidak siap kalah bahkan mungkin siap ribut jika kalah.
- Paradigma yang digunakan adalah siapapun yang menang, merupakan kemenangan rakyat Indonesia seluruhnya.
Ini adalah paradigma dari warga negara yang siap menerima kenyataan bahwa Paslon yang didukungnya tidak terpilih dan siap untuk kemudian mendukung siapapun yang terpilih sebagai Presiden Republik ini oleh rakyat lewat proses Pemilu yang jurdil, jujur dan adil.
Paradigma ini sah berbasiskan keyakinan bahwa 3 Capres yang kita miliki saat ini adalah kader-kader terbaik yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, walau dengan catatan masa lalu yang berbeda serta catatan rekam jejak yang juga berbeda.
Keyakinan bahwa masing-masing kita adalah bagian dari rakyat Indonesia yang akan mendapatkan manfaat dari apapun yang dilakukan oleh Presiden terpilih nanti juga merupakan konsekuensi dari paradigma ini.
Sebagai kader terbaik bangsa, Capres yang terpiih tidak akan melakukan diskriminasi pembangunan untuk kelompok yang tidak memilih dia sekalipun. Ini juga yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi sebelumnya.
Provinsi-provinsi yang mayoritas penduduknya tidak memilih beliau, tidak ditinggalkan dalam proses pembangunan dalam masa pemerintahannya.
Karena itu jangan kuatir untuk berbeda pilihan, walaupun Paslon yang didukung menurut berbagai survey bakal kalah. Tetaplah konsisten dengan pilihanmu, pilihlah dengan damai dan riang dengan cara berpikir ini.
- Memilih dengan Pertimbangan Rasional.
Penulis merekomendasikan memilih dengan pertimbangan rasional dan tidak dengan pertimbangan fisik dan penampilan, tidak dengan pertimbangan identitas, juga tidak karena dibayar juga mengusulkan paradigma positif dan berani untuk bersikap berbeda.
Bagaimana tepatnya prinsip memilih secara rasional akan diuraikan dalam seri tulisan berikutnya. (bersambung)
BCU, 3 Maret 2023.