TIMIKA, Koranpapua.id- Ribuan umat Katolik Paroki Santo Stefanus Sempan, Keuskupan Timika, Kabupaten Mimika Papua Tengah merayakan Jumat Agung, Jumat 29 Maret 2024.
Perayaan yang dimulai pukul 15.00 WIT dipimpin oleh RP Gabriel Ngga, OFM, Pastor Paroki Santo Stefanus Sempan.
Sebelum perayaan Jumat Agung, pada pagi harinya telah diawali dengan pelaksanaan jalan salib hidup yang diperankan oleh Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Santo Stefanus Sempan.
Sejak pukul 14.00 WIT umat sudah berdatangan. Satu persatu dengan khusuk masuk menempati bangku-bangku di dalam gereja maupun kursi yang disiapkan panitia di sisi kiri kanan gereja.
Perayaan mengenang kematian penyaliban Yesus ini tepat pukul 15.00 WIT. Imam mengenakan kasula merah melambangkan keberanian bersama misdinar dan akolid berjalan berarak menuju altar Tuhan tanpa diiringi lagu.
Tiba di depan altar, imam tiarap menunjukan kerendahan hati di hadapan Bapa-Nya. Perayaan berlangsung dalam suasana hening dan meja altar tanpa ada dekorasi.
Umat kemudian diperdengarkan kisah sengsara Yesus Kristus mulai dari makan bersama para murid, di Taman Getsemani, pengadilan hingga wafatnya di kayu salib.
Setelah mendengarkan pembacaan kisah sengsara dan kotbah, umat dilanjutkan dengan memberikan penghormatan kepada salib berkorpus Yesus.
RP Gabriel Ngga, OFM dalam kotbahnya menjelaskan, Yesus disalibkan sesuai dengan tradisi Roma. Yang menurut Herodotus sejarahwan Romawi bahwa hukuman salib berasal dari Babilonia dan Persia.
Diterapkan hukuman salib ini di Kekaiseran Romawi untuk menghukum para penyamun dan masyarakat kelas rendahan guna menjaga stabilitas dan keamanan.
Israel merupakan bangsa jajahan Roma. Maka, Yesus dituduh sebagai penjahat kelas kakap, maka Ia mendapat hukuman mati dengan cara disalibkan.
Yesus Kristus mendapat hukuman yang kejam. Padahal semua tahu menurut injil, Yesus selama hidupnya meninggalkan segala-galanya untuk mewartakan tentang kebaikan.
Yesus keliling masuk desa, kota dan kampung untuk berbuat baik. Ia menyembuhkan orang sakit, membela orang kecil, orang buta dan tuli, menghidupkan orang mati dan mengusir setan. Yesus Raja Damai juga berjuang sampai merelakan nyawa-Nya demi keselamatan manusia.
Dengan demikian warna liturgi merah pada perayaan Jumat Agung tidak saja melambangkan akan duka cita, tetapi mengingatkan umat akan berani mati demi memperjuangkan kebaikan dan nilai-nilai kebenaran.
“Pada zaman kita saat ini dimana tempat kita berada berbagai kebencian telah ada di dalam hidup manusia. Dan pelaku-pelakunya adalah kita sendiri,” kata RP Gabriel.
Manusia, kata RP Gabriel telah meninggalkan kekerasan, pembunuhan, kebencian, ketidakadilan dan korban nyawa bagi orang kecil. Mereka dibunuh dan dibantai maupun disiksa.
Yesus selalu menyamarkan diri-Nya sebagai orang kecil, tersisihkan di dalam masyarakat. “Justru karena merekalah sering mendapat ketidakadilan, sering mendapat kekerasan, merendahkan martabat hidup mereka. Sehingga Yesus Kristus sampai saat ini masih disalibkan,” katanya.
Mantan Provinsial OFM Papua ini menegaskan, Yesus Kristus sampai dengan saat ini masih tersalibkan karena oleh dosa-dosa manusia.
“Di mana kita kurang peduli. Sudah tahu itu bersalah tapi kita memilih diam. Tahu itu tidak baik, kita tidak pernah berusaha perbaiki,” katanya.
RP Gabriel juga mengajukan pertanyaan refleksi bagi umat apa makna perayaan Jumat Agung ini ? Menurutnya lewat perayaan Jumat Agung, Yesus rela menderita dan mati di kayu salib karena cinta-Nya yang begitu besar bagi umat manusia.
Karena cinta-Nya, Ia rela mengorbankan nyawa-Nya untuk manusia. Bahkan Ia rela memberikan segala-galanya dengan tuntas agar manusia selamat. (Redaksi)