TIMIKA, Koranpapua.id- Ratusan massa dari Front Pemilik Hak Ulayat Mimika Wee (FPHUM) mengepung halaman DPRD Mimika pada Selasa, 25 November 2025.
Mereka menuntut pemerintah segera menyelesaikan sengketa tapal batas wilayah adat Kapiraya. Kehadiran massa membuat persiapan Sidang Paripurna APBD Mimika Tahun 2026 terhenti.
Dalam aksi tersebut, sejumlah tokoh seperti Gerry Okoare, Petrus Renwarin, Marianus Maknaepeku turut hadir dalam aksi tersebut.
Mereka bergantian berorasi menuntut pengembalian wilayah hak ulayat Suku Kamoro mulai dari Potowaiburu hingga Nakai di hadapan Bupati, Wakil Bupati Mimika, serta seluruh anggota DPRD.
Wilayah itu, menurut massa, telah dicaplok kelompok masyarakat dari Kabupaten Deiyai dan Dogiyai, bahkan disebut mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat.
Ketua FPHUM, Rafael Taorekeyau, dalam pernyataan sikapnya mengungkap bahwa konflik perebutan wilayah adat telah berlangsung bertahun-tahun dan memicu ketegangan antarsuku.
Ia menegaskan bahwa masyarakat adat menolak klaim sepihak melalui pembangunan kampung baru oleh Kabupaten Deiyai di wilayah yang secara administratif masih berada dalam Kabupaten Mimika.
“Kami tidak terima wilayah adat kami dicaplok. Karena itu hari ini kami datang dan mengepung kantor DPRD untuk menyampaikan aspirasi langsung,” tegas Rafael.
Ia menambahkan bahwa kehadiran pimpinan daerah dan dewan memberi ruang bagi masyarakat untuk berbicara tanpa perantara.
Aksi FPHUM juga mendapat dukungan dari keluarga besar masyarakat adat, termasuk keturunan para perintis yang sudah menghuni Mimika sejak 1921.

Dalam pernyataan sikapnya, mereka menuntut pemerintah daerah dan provinsi untuk menyelesaikan tapal batas Kabupaten Mimika–Deiyai–Dogiyai sebelum Natal 2025.
Mereka juga mendesak penutupan Bandara Tuapa Kapiraya, pembangunan Polsek dan Koramil di Mimika Barat Tengah/Kapiraya, serta penunjukan Plt Kepala Distrik Urumuka, Temare, dan Kamora.
Selain itu, FPHUM meminta penggantian Kepala Distrik Mimika Barat Tengah dan menangkap pihak yang diduga sebagai aktor pembakaran rumah warga Kamoro/Mimika Wee di Wakia.
Rafael menilai proses penyelesaian selama ini kurang transparan. Ia menuding Bupati Deiyai kerap menyuarakan klaim wilayah melalui media sosial, sementara pemerintah Mimika belum memberikan penjelasan memadai.
Karenanya, Ia berharap pemerintah segera mengundang FPHUM untuk berdialog, mengingat wilayah tersebut secara administratif berada dalam Kabupaten Mimika.
Rafael juga mengingatkan bahwa kondisi di Kapiraya masih rawan dan berpotensi memicu konflik lanjutan jika tidak ditangani serius.
Karena itu, FPHUM meminta penempatan pos TNI dan Polri sebagai langkah awal stabilisasi keamanan.
Menanggapi tuntutan tersebut, Bupati Mimika Johannes Rettob menjelaskan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya, termasuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
Ia menyebut pemerintah sudah dua kali mengirim surat resmi kepada Kementerian Dalam Negeri untuk meminta penegasan kembali tapal batas sesuai Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999.
Bupati juga menyinggung rencana pembangunan fasilitas di wilayah perbatasan, termasuk lapangan terbang dan rumah-rumah di Kapiraya.
“Jangan kita terus tinggal di pantai. Kita harus jaga tanah kita di atas. Kalau wilayah itu tidak dihuni, orang akan masuk sesuka hati,” ujarnya.
Ia memastikan pemerintah masih menunggu undangan resmi dari Kemendagri untuk membahas persoalan batas bersama para kepala daerah terkait.
Sementara itu, Ketua DPRD Mimika Primus Natakepeyau mengapresiasi masyarakat yang menyampaikan aspirasi secara langsung.
Ia menegaskan bahwa lembaga perwakilan rakyat tidak menutup mata terhadap persoalan Kapiraya dan berkomitmen mengawal tuntutan tersebut.
Karena massa meminta agar persoalan dibahas tanpa Pansus, DPRD menyatakan siap mengikuti mekanisme dialog bersama pemerintah daerah.
“Kami adalah wakil rakyat. Terus dorong kami, ingatkan kami. Kami akan melanjutkan aspirasi ini,” ujar Primus. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru










