TIMIKA, Koranpapua.id- Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua di Mimika kembali turun ke jalan menyuarakan kekecewaan terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang hari ini, Jumat 21 November 2025 sudah berusia 24 tahun.
Menunjukan kekecewaan itu, massa menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor DPRD Mimika, Jumat 21 November 2025.
Dalam aksi itu massa aksi mengangkat tema “24 Tahun Kegagalan Otonomi Khusus dan Selamatkan Komoditi Lokal di Seluruh Tanah Papua”.
Massa yang datang dari empat titik yakni, SP2, Timika Indah, Pasar Baru, dan Pasar Lama, mulai memadati jalan cenderawasih SP2 depan kantor dewan sejak pagi.
Mereka membawa poster dan spanduk berisi tuntutan, sambil berorasi bergantian.
Seorang pelajar yang turut berorasi menumpahkan kekecewaannya terhadap minimnya dampak Otsus bagi Orang Asli Papua (OAP).
“Otonomi khusus adalah kegagalan. Selama 24 tahun, Otsus tidak membangun SDM Papua, tetapi justru sumber daya alam yang terus dikuras,” ujarnya lantang.
Ia menilai gelar “daerah istimewa” selama ini hanya merujuk pada kekayaan alam Papua, bukan kualitas manusianya.
Menurutnya, berbagai kebijakan Otsus justru membuka pintu bagi investasi skala besar, perkebunan, dan aktivitas ekonomi yang tidak berpihak pada OAP.
“Otsus seharusnya menjadi jembatan untuk pembangunan manusia Papua, bukan untuk mempermudah masuknya perusahaan ilegal dan berbagai bentuk ketidakadilan,” tegasnya.
Isu pangan lokal juga menjadi sorotan. Ia menyebut komoditas khas Papua semakin terdesak oleh pedagang diluar Orang Asli Papua (OAP).
“Kami orang Papua hidup dengan pangan lokal. Pemerintah harus melindungi pangan lokal, karena saat ini banyak komoditas luar yang masuk dan memonopoli pasar, termasuk komoditas seperti pinang,” tambahnya.
Koordinator Umum Aksi, Yoki Sondegau, mengingatkan bahwa ini bukan aksi pertama yang mereka gelar.
Mereka telah empat kali menyampaikan aspirasi terkait implementasi Perda Nomor 4 Tahun 2024 tentang pemberdayaan dan perlindungan OAP.
“Kami sudah berulang kali berdialog, termasuk RDP dengan anggota dewan. Namun hingga kini Perda itu belum direalisasikan. Kami berharap DPRD dapat menerima aspirasi kami,” ungkapnya.
Dari kalangan perempuan Papua, seorang mama pedagang pasar menyampaikan suara hati yang membuat suasana aksi hening sejenak.
“Setiap hari kami keluar pagi mencari Rp20.000 untuk makan. Freeport ada, pemerintah ada, tapi kami tidak merasakan hasilnya. Kami hanya ingin pemerintah membuka pintu untuk mendengar isi hati kami,” ungkapnya lirih.
DPRD Kosong, Tak Ada Satu Pun Wakil Rakyat yang Hadir
Meski massa hadir dengan harapan untuk berdialog, kenyataan berkata lain. Hingga pukul 11.00 WIT, tak satu pun anggota DPRD Mimika berada di kantor untuk menemui demonstran.
Gedung wakil rakyat itu tampak lengang tanpa aktivitas, memantik kekecewaan para peserta aksi yang telah datang dari berbagai penjuru.
Padahal, aspirasi yang mereka bawa berkaitan langsung dengan keberlangsungan hidup masyarakat Papua, mulai dari perlindungan komoditas lokal hingga implementasi Perda yang sudah disahkan.
Pantauan koranpapua.id, aksi berjalan damai di bawah pengawalan aparat keamanan. Para peserta menegaskan perjuangan mereka tidak akan berhenti sampai aspirasi masyarakat Papua mendapat respons nyata dari pemerintah. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru










