ADA banyak ajaran dan pedoman bagaimana memilih pemimpin yang baik. Para leluhur tanah Jawa menyebut dengan istilah perhatikan tiga faktor: bibit, bobot dan bebet.
Bibit mengacu pada faktor keturunan, bobot mengacu pada pendidikan dan karakternya, bebet mengacu pada status sosial.
Pada prinsipnya acuan bibit bobot dan bebet ini mengajarkan bahwa watak kepemimpinan yang baik itu diturunkan dari DNA leluhur yang juga baik sebagai pemimpin di masa lalu, yang akan menghasilkan karakter serta strata sosial yang juga sesuai dengan tugas kepemimpinan yang akan diemban.
Dalam kontestasi pilpres ini tidak heran jika sebagian masyarakat Jawa masih menggunakan prinsip ini. Jika ini dilakukan maka sebenarnya para pemilih diharuskan menelusuri rekam jejak dari leluhur para Paslon ini.
Ini hal yang kurang obyektif, menurut hemat penulis, karena yang nanti memimpin bukan leluhurnya melainkan orang yang bersangkutan dan bahwa kepemimpinan, karakter dan kompetensi itu adalah sesuatu yang dinamis dan bisa berubah dan ditumbuh kembangkan.
Penulis tidak menganjurkan hal itu dijadikan pedoman karena penulis adalah penganut growthmindset. Anak bisa lebih hebat dari bapaknya namun bisa juga lebih rendah kualitas kepemimpinannya dari ayahnya.
Sangat tergantung dari Pendidikan, pengalaman dan proses yang dialami dalam seluruh kehidupannya. Tidak tergantung semata-mata pada faktor yang sudah ada seperti DNA keturunannya.
Di kalangan masyarakat China ada juga ajaran yang berasal dari salah satu Kaisar dari Dinasti Tang, Negara akan selamat jika pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang baik, beretika dan memiliki kompetensi. Jika pemimpin itu orang baik, memiliki etika yang luhur maka banyak orang baik akan terdorong dan ditarik untuk bekerja buat negara dan rakyat. Negara akan makmur, damai dan sejahtera.
Namun jika pemimpinnya jahat, maka banyak orang jahat akan berkumpul di Istana dan rusaknya negara serta sengsaranya rakyat hanya soal waktu saja.
Ini prinsip yang baik karena pertimbangannya diletakan pada figure pemimpin itu sendiri, bukan orang tua ataupun leluhurnya. Namun prinsip ini masih menyisakan satu hal penting yang harus dijawab, bagaimana menentukan pemimpin itu orang baik, beretika dan memiliki kompetensi ?
Sebenarnya senada dengan pesan kuno di China dari Dinasti Tang tersebut, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ, sudah lama mengatakan bahwa: Pilpres bukan untuk memilih Presiden terbaik namun untuk mencegah orang terjahat berkuasa.
Sebenarnya ini berasal dari prinsip Minus Malum: Memilih yang paling sedikit minusnya (jahatnya), karena tidak ada orang yang 100 % baik atau 100% buruk, selalu ada sisi baiknya namun juga selalu ada sisi buruknya.
Penulis ingin menghindari prinsip minus malum ini karena mau tidak mau rekam jejak keburukannya serta sisi jahatnya yang akan ditonjolkan dan kita harus memilih Paslon dengan skala keburukan yang paling kecil.
Itu yang harus dipilih, karena potensi bahwa perbuatan jahat itu terjadi lagi, akan paling tinggi jika yang pernah melakukannya, berkuasa.
Jika belum memiliki kekuasaan puncak, dia sudah berani melakukannya, pertanyaan praktisnya apa yang akan menghalanginya jika kekuasaan tertinggi sudah berada ditangannya.
Ini lebih tepat merupakan mitigasi resiko bagi bangsa. Tentu saja tidak ada yang melarang pemilih menggunakan prinsip ini untuk menentukan pilihan, apalagi jika itu merupakan pertimbangan pribadi dan menjadi keputusan politik yang juga rahasia. Sah sah saja.
Disini Penulis mengusulkan kepada pembaca untuk menggunakan prinsip sebaliknya, yaitu prinsip Primus Inter Pares. Pertanyaan kuncinya: mana pemimpin yang terbaik bagi negeri ini.
Mana pemimpin yang dengan karakter dan kompetensinya akan mampu melakukan paling banyak hal yang positif bagi negeri ini dan rakyatnya.
Aspek yang muncul dalam list kita adalah aspek aspek positif dari Paslon. Dari manakah kita bisa mendapatkan aspek aspek positif dari Paslon ?
Dari rumusan visi misi program mereka, dari kampanye yang mereka lakukan serta dari debat debat yang diselenggarakan berbagai pihak khususnya KPU.
Namun dari semua sumber itu yang paling valid adalah rekam jejak mereka sebelumnya. Disana akan lebih nampak, karakter kepemimpinan mereka, kompetensi mereka, pengalaman mereka, kegagalan dan keberhasilan mereka.
Faktor faktor itu yang paling bisa menggambarkan seluruh pola kepemimpinan mereka nanti jika terpilih, bukan tulisan di dokumen visi misi dan program.
Juga bukan kalimat kalimat mereka ketika kampanye dan debat, yang semuanya umumnya bersifat narrative dan deskriptif. Berbeda dengan rekam jejak yang bersifat historis empiris, jadi faktual.
Berbicara mengenai Presiden di negara kita, jabatan itu merupakan kepala pemerintahan serta juga kepala negara. Karena itu idealnya, figur yang dipilih menjadi Presiden dan Wakilnya, mesti memiliki pengalaman di bidang eksekutif serta juga akan lebih bagus lagi, jika juga memiliki pengalaman di bidang legislative dan yudikatif.
Karena fungsi kepala negara jelas mengayomi dan menjaga keseimbangan dari proses check and balance antara 3 pilar demokrasi tersebut.
Jadi cara yang paling sederhana untuk melihat kayanya pengalaman mereka dalam jabatan public adalah dengan membandingkan akumulasi pengalaman mereka berdua di tiga pilar demokrasi modern tersebut.
Ada Paslon 02 yang memiliki pengalaman di bidang Eksekutif selama 6 tahun tanpa pengalaman di bidang legislative maupun Yudikatif, ada Paslon 01 memiliki pengalaman di bidang eksekutif selama 10 tahun dan legislative juga selama 10 tahun.
Dan ada Paslon 03 yang memiliki pengalaman sangat lengkap di bidang eksekutif selama 20 tahun, di bidang legislative selama 15 tahun dan dibidang Yudikatif selama 5 tahun.
Dalam teori politik kontemporer, selain eksekutif, legislative dan yudikatif, sering juga media dan masyarakat sipil, juga disebut sebagai pilar pilar demokrasi yang tidak kalah pentingnya karena dua komponen ini.
Media dan maasyarakat sipil sering memainkan peran penting dalam proses check and balance yang bahkan sering lebih effektif dari check and balance antara 3 pilar utama demokrasi.
Karena itu sebagai bagian dari rekam jejak Paslon, juga harus dilihat bagaimana sikap dan interaksi mereka jika berhadapan dengan media dan masyarakat sipil.
Apakah mereka cukup terbuka, mampu untuk membuka dialog yang konstruktif dengan media maupun dengan masyarakat sipil. Aspek ini juga sangat penting dalam memetakan rekam jejak para Paslon kita.
Tentu saja lamanya menjabat menjadi sangat bermakna jika ditambah dengan informasi, apa yang dilakukan oleh para Paslon selama menjabat jabatan jabatan tersebut.
Warga negara yang baik, yang sadar betapa pentingnya memilih Paslon yang terbaik, tentu akan menggunakan waktunya beberapa menit untuk mencari tahu informasi itu.
Paslon yang pernah menjabat di executive, apa saja yang telah dilakukan selama menjabat entah sebagai Menteri, sebagai gubernur ataupun sebagai Walikota, begitu pula selama menjabat di legislative dan yudikatif.
Mengacu pada 3 hal yang selalu muncul dalam berbagai diskusi sebagai keinginan public, yaitu: Pemberantasan korupsi Kolusi dan Nepotisme, kebijakan anti radikalisme dan anti intoleransi serta kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Silahkan di check apakah selama menjabat para Paslon tersebut sempat terkait atau terlibat dengan ketiga issu tersebut, baik secara negatif maupun secara positif.
Semoga kita tidak apatis dan juga tidak memilih berdasarkan alasan alasan yang tidak utama seperti yang diuraikan dalam tulisan pertama, alasan tampilan fisik, alasan umur, alasan identitas, alasan karena dibayar namun lebih karena alasan alasan substantif yang bisa diverifikasi lewat penelusuran rekam jejak mereka.
Sisihkan waktu 5 menit untuk menelusuri rekam jejak mereka akan memberikan kita kesempatan untuk memilih yang terbaik bagi masa depan negara dan bangsa kita yang tercinta ini.
Hal itu sangat penting buat semua kita, terutama buat generasi muda yang akan menjadi warga utama dari Negara Indonesia di fase keemasannya.
Penutup
Dalam rangkaian 4 tulisan ini, penulis berusaha untuk hanya memaparkan prinsip dan metoda memilih Paslon dengan benar, penulis juga berusaha untuk seminim mungkin menyebut nama Paslon agar uraian tidak bersifat partisan.
Tentu penulis sendiri punya pilihan dengan pertimbangan pertimbangan dan hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis, semoga tidak membuat tulisan ini menjadi bias.
Terima kasih buat para pembaca yang membaca seri tulisan ini secara lengkap. Di bagian akhir ini, penulis ingin menambahkan pokok pikiran terakhir secara singkat.
Di bagian kedua dari seri tulisan ini, penulis sudah menunjukkan bahwa sikap Paslon terhadap warisan pak Jokowi juga adalah komponen penting dari pilihan kita.
Penelusuran dari rekam jejak ini juga akan menjawab apakah dengan rekam jejak ini para Paslon tersebut mampu meneruskan segala program yang baik dan juga mampu meluruskan segala program yang belum baik dan sempurna.
Hal ini tidak ada kaitannya dengan Presiden Joko Widodo pribadi lagi karena beliau akan mundur di bulan oktober 2024 nanti. Banyak yang mencoba mempengaruhi pemilih untuk melihat ini sebagai pertarungan dari para king maker, lalu ada tiga nama yang disebut: ibu Megawati Sukarno putri, pak Joko Widodo dan pak Surya Paloh.
Rakyat digiring seolah olah Pilpres ini adalah memilih dari mereka bertiga. Ini adalah manipulasi besar yang bisa berakibat buruk. Paslon kita ada 3 dan tiga tokoh itu tidak ada namanya dalam ketiga Paslon tersebut.
Kita memilih antara Paslon 01 dengan Capres Prof Anies Baswedan, Paslon 02 dengan Capres Prabowo Subianto dan Paslon 03 dengan Capres Ganjar Pranowo.
Itu saja pilihan kita. Bahwa sebagian besar dari kita mungkin masih menyintai pak Joko Widodo, maka pilihlah Capres yang gaya kepemimpinannya paling mirip dengan pak Joko Widodo.
Gayanya yang merakyat, akrab dengan siapa saja, rendah hati serta juga sabar. Hanya itu yang bisa dilakukan, agar hal hal yang baik yang ditinggalkan beliau bisa dipertahankan serta hal hal yang masih belum baik dan sempurna bisa diperbaiki dan disempurnaan bagi bangsa ini. Pilihlah yang terbaik dengan damai serta riang gembira. Amin. (***)
Rawamangun, 4 January 2023.