TIMIKA-Koranpapua.id- Mayoritas masyarakat yang mendiami wilayah pesisir Kabupaten Mimika, Papua Tengah berprofesi sebagai nelayan.
Karena itu dalam menunjang mata pencaharian, mereka lebih membutuhkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dan pertalite ketimbang minyak tanah.
Efraim Saria, Kepala Distrik Mimika Barat Jauh mengatakan, solar dan pertalite sangat dibutuhkan untuk melaut.
Sementara minyak tanah tidak terlalu diperlukan, karena untuk kebutuhan memasak masyarakat lebih memilih gunakan kayu api. Persediaan kayu api di wilayah itu masih sangat banyak.
Efraim menyampaikan hal ini merespon hasil pertemuan para kepala distrik bersama Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Mimika baru-baru ini terkait penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak tanah.
Selain untuk kebutuhan melaut, solar dan pertalite juga digunakan oleh pengusaha yang memiliki genset untuk penerangan pada malam hari.
“Pada prinsipnya kami mendukung penentuan HET minyak tanah untuk wilayah pesisir dan pegunungan. Namun yang masyarakat pesisir butuh bukan minyak tanah tapi pertalite dan solar,” kata Efraim kepada Koranpapua.id belum lama ini.
Ia memastikan apabila tanpa kedua jenis BMM ini, masyarakat tidak bisa beraktifitas sama sekali, karena ketika turun melaut sangat bergantung kepada solar dan pertalite.
Efraim berharap pemerintah mulai memikirkan untuk membangun pangkalan BBM solar dan pertalite di wilayah pesisir. Ada rencana pembangunan pangkalan BBM di Kokonao, Distrik Mimika Barat namun dilihat dari sisi tata letaknya terlalu jauh.
Belum lagi kondisi alam dan cuacanya kadang kurang bersahabat sehingga menjadi sangat sulit untuk dijangkau. “Kalau bisa pemerintah bangun pangkalan BBM pertalite dan solar masing-masing distrik untuk mendekatkan pelayanan,” sarannya.
Dengan sulitnya medan dan jauhnya jarak tempuh membuat harga solar maupun pertalite mencapai Rp25 ribu per liter. Meski terbilang sangat mahal, apalagi persediaan terkadang langkah, masyarakat tetap membelinya untuk memenuhi kebutuhan.
Terkadang karena ketiadaan bahan bakar mengakibatkan sejumlah program aparatur distrik dan kampung terhambat. Ia mencontohkan ketika kepala kampung hendak ke Timika untuk pencairan dana desa, namun karena ketiadaan BBM untuk jhonson maka terpaksa batal.
Masyarakat di wilayahnya hampir semua sudah memiliki mesin jhonson, namun karena sulitnya mendapatkan BBM akhirnya aktifitas jadi terhambat.
Sebagai kepala distrik, Efraim mendukung upaya Disperindag mengumpulkan informasi dari setiap distrik dalam penentuan HET, namun pada intinya wilayah pesisir lebih membutuhkan pangkalan solar dan pertalite. (redaksi)