TIMIKA, Koranpapua.id- Rencana Presiden Prabowo untuk melakukan ekspansi sawit berskala besar di wilayah Papua Raya, mendapatkan penolakan dan kecaman dari dari berbagai kalangan.
Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko) menjadi salah satu lembaga kultur Papua yang terus lantang bersuara menolak masuknya investor sawit di Papua, secara khusus di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah.
Melalui Wakil Ketua Lemasko, Marianus Maknaepeku mengatakan, Lemasko yang memiliki wilayah adat yang sangat luas dan kini dibidik untuk perkebunan sawit, dengan tegas menolak rencana sebagaimana yang disampaikan Presiden Prabowo.
Lemasko mendesak agar pemerintah menghentikan ekspansi lahan sawit ke Papua, karena adanya kekhawatiran serius terhadap daya dukung lingkungan dan risiko sosial-ekologis jangka panjang.
Dengan jutaan hektare izin perkebunan yang telah dikantongi dan adanya perluasan tambahan lahan, dinilai tidak lagi sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Dikatakan, pengalaman di Sumatra menunjukkan bahwa ekspansi sawit tanpa pengendalian ketat berpotensi memicu deforestasi, degradasi ekosistem, serta konflik sosial.
Karenanya, Papua memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih berhati-hati dan berbasis perlindungan lingkungan.
“Cukup sudah air mata masyarakat yang menjadi korban di Sumatera, jangan lagi terjadi di Papua,” ungkap Marianus kepada koranpapua.id, Jumat 19 Desember 2025.
Lebih lanjut disampaikan bahwa, pernyataan Presiden Prabowo dalam rapat bersama kepala daerah se-Papua Raya, soal perlunya perluasan penanaman kelapa sawit di Papua, menunjukkan pemerintah tidak peka dan peduli terhadap lingkungan hidup.
Dijelaskannya, bencana ekologis di Sumatera semestinya dapat dijadikan pembelajaran berharga dan menjadikan pemerintah sadar, bahwa menghancurkan hutan dan menggantinya dengan tananan monokultur merupakan tindakan keliru.
“Seperti yang sekarang terjadi di Potowayburu, ada investor namanya PT TAS yang rencana buka perkebunan kelapa sawit di Potowayburu, Distrik Mimika Barat Jauh. Rencana ini harus dari awal kita tolak,” tegasnya.
David Uramata, Kepala Suku Kampung Aindua di Potowayburu sudah melaporkan ke Lemasko bahwa manajemen PT TAS telah datang ke Potowayburu dan menyampaikan akan membuka perkebunan kelapa sawit di wilayah itu.
“Dengan adanya informasi ini, lembaga adat akan berupaya agar rencana itu dibatalkan. Dengan tegas Lemasko bersama masyarakat menolak masuknya investor sawit di sana,” pungkasnya.
Menurut Marianus, pembukaan perkebunan sawit berpotensi merusak hutan adat, lingkungan hidup, serta mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat yang selama ini bergantung pada alam sebagai sumber penghidupan.
“Wilayah Mimika Barat Jauh adalah tanah adat yang harus dijaga. Tidak boleh ada investor yang masuk tanpa persetujuan masyarakat adat dan tanpa kajian lingkungan yang jelas dan transparan,” tegas Marianus.
Ia menilai, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa perkebunan sawit sering menimbulkan konflik sosial, perampasan hak ulayat, serta kerusakan ekosistem, sehingga pemerintah daerah harus lebih berhati-hati dalam memberikan izin.
“Seperti yang terjadi di Kampung Kamora kelapa sawit yang pernah dibuka PT PAL, toh akhirnya masyarakat yang dirugikan. Jangan lagi pengalaman pahit itu dirasakan masyarakat Potowayburu”.
Marianus meminta Pemerintah Kabupaten Mimika, Pemerintah Provinsi Papua Tengah untuk tidak mengeluarkan izin kepada PT TAS sebelum ada dialog terbuka dengan masyarakat adat, lembaga adat, dan seluruh pemangku kepentingan terkait.
Marianus juga berharap kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua Tengah untuk berani bersuara menentang rencana pembukaan lahan sawit di Potowayburu.
Karena jika rencana ini berhasil, maka akan terjadi perampasan tanah masyarakat oleh perusahaan, wilayah Potowayburu suatu saat akan terjadi musibah banjir sebagai akibat hutan gundul. (Redaksi)










