TIMIKA, Koranpapua.id– Kota Timika, Ibukota Kabupaten Mimika setiap harinya menghasilkan sekitar 93 ton sampah, mayoritas berupa plastik.
Angka ini membuat kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) semakin sempit, karena dari total lahan seluas 11 hektare, kini hanya tersisa 4 hektare yang bisa digunakan.
Untuk mengatasi persoalan ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Mimika berencana mengubah sistem pengelolaan sampah dari pola “kumpul-angkut-buang” menjadi sistem pemilahan sejak dari rumah tangga.
Jeffri Deda, Kepala DLH Mimika, menjelaskan masyarakat akan diminta memilah sampah berdasarkan jenisnya, yakni plastik, kering, dan sisa makanan, sebelum diangkut ke TPA.
“Sekarang masih pakai sistem kumpul-angkut-buang. Nanti kita terapkan sistem pemilahan. Armada kita masih terbatas, kurang tiga unit. Mudah-mudahan tahun depan bisa ditambah,” ujarnya kepada awak media, Rabu 17 September 2025.
Saat ini DLH Mimika mengoperasikan 21 armada yang melayani 18 jalur pengangkutan.
Namun, permintaan layanan juga datang dari berbagai instansi seperti Polres, Kodim, Kejaksaan, Brimob, Kaveleri hingga Pomako.
“Padahal untuk jalur-jalur itu untuk sementara tersebut belum tersedia,” pungkas Jefri.
Sebagai langkah pengurangan volume sampah, DLH mendorong pendirian Bank Sampah di 21 kelurahan se-Kota Timika. Masyarakat dapat menjual sampah yang sudah dipilah dengan harga Rp1.500 per kilogram.
“Sampah organik akan diolah menjadi kompos, sementara plastik dapat didaur ulang di Pusat Daur Ulang (PDU) untuk dijadikan bahan bangunan seperti paving block,” jelasnya.
Selain itu, DLH juga berencana mengubah sistem pengelolaan TPA dari open dumping menjadi controlled landfill sesuai arahan Kementerian Lingkungan Hidup.
Namun, penerapan sistem ini membutuhkan biaya yang besar serta dukungan penuh masyarakat.
“Yang terpenting adalah kesadaran masyarakat. Kalau sejak dari rumah tangga sudah memilah, pengelolaan sampah kita akan jauh lebih mudah,” pungkas Jefri. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru










