TIMIKA, Koranpapua.id– Di tengah kesibukan Kota Timika, sosok Mama Paustina Mote tetap berdiri sebagai penjaga warisan budaya Papua.
Selama lebih dari 20 tahun, perempuan ini mendedikasikan hidupnya sebagai pengrajin noken dan aksesori khas Papua.
Sejak memilih jalur ini pada 2002, mama Paustina terus berkarya dengan ketekunan.
Meski kini sudah bernaung di bawah UMKM Timika, namun Ia tetap setia pada cara kerja lamanya, sederhana, tekun, dan penuh cinta pada budaya leluhur.
Ketelatenan dan Keahlian yang Terus Melekat
Di antara tumpukan benang, kulit kayu, dan warna-warna khas Papua, Mama Paustina mengerjakan seluruh proses pembuatan noken seorang diri.
Dalam sehari, ia mampu menyelesaikan dua hingga tiga kantong HP, sementara noken dari kulit kayu membutuhkan waktu sekitar satu setengah hari.
Jika pesanan meningkat, dalam sebulan ia dapat menghasilkan 10 hingga 20 noken bahkan meminta temannya yang lain untuk menjual.
“Kalau ada yang pesan noken banyak saya ambil disana (sekitar graha Eme Neme Yauware), bukan saya kasih saya punya saja tidak,” ujarnya Senin 8 Desember 2025.
Untuk membuat baju dengan motif rumit seperti Cendrawasih, proses pengerjaan bisa memakan waktu hingga tiga minggu karena permainan warna yang berlapis.
Yang membuatnya unik, Mama Paustina tidak pernah menggunakan pola. Setiap motif lahir dari ingatan dan naluri yang telah menyatu dengan tangannya.
“Tidak lihat gambar dan tidak lihat warna, hanya main pikiran saja,” ucapnya sambil tersenyum.

Dari Trotoar hingga Masuk UMKM
Perjalanan usahanya dimulai sejak tahun 2002 bahkan sebelum peristiwa kebakaran di Pasar Swadaya Timika (Pasar Lama) di Jalan Yos Sudarso dan pada 2020.
Dan bertepatan dengan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON), Ia resmi terdaftar sebagai pelaku UMKM Dinas Koperasi Mimika.
Dibawah naungan itu dukungan pemerintah mulai mengalir melalui Dinas Koperasi, termasuk bantuan alat pintal yang kini masih dipelajari.
Prestasinya tak berhenti di situ, Mama Paustina pernah meraih juara pertama dalam pelatihan alat pintal yang digelar Pemerintah Daerah (Pemda) Mimika.
“Saya pelatihan di SP 12, saya juara satu dapat hadiah alat pintal. Tapi alat pintal yang besar, jadi saya agak sulit kerja,” ungkapnya.
Dengan jalan itu pemerintah juga membangun rumah produksi UMKM Timika di atas tanah yang ia beli dari hasil penjualan noken. Namun, akses jalan menuju tempat tersebut masih menjadi tantangan tersendiri.
Pasar, Pelanggan, dan Filosofi “Jangan Putus Tali”
Karya Mama Paustina tak hanya diminati masyarakat umum, tetapi juga kerap menjadi oleh-oleh favorit anggota kepolisian.
Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap bertahan, mama Paustina menjawab mantap, “Saya mempertahankan asli Papua.”
Ia memegang sebuah filosofi sederhana yang selalu menuntunnya: “Jangan putus tali.” Dalam bahasa Deiyai, (Mogeyagamo) ungkapan itu berarti jangan melepaskan hubungan dengan pekerjaan, usaha, maupun rezeki.
Karena menurutnya, selama tali itu tetap terikat, semangat berkarya pun terus menyala.
Harga dan Proses Produksi
Mama Paustina menetapkan harga berdasarkan ukuran dan tingkat kerumitan produk, mulai dari kantung kecil seharga Rp50 ribu, noken besar Rp500 ribu, hingga noken premium jenis Anggrek yang mencapai Rp2,5 juta – Rp3 juta.
Untuk baju motif Papua, membutuhkan sekitar dua minggu pengerjaan, sementara paket baju dengan noken bisa dibanderol hingga Rp1,5 juta.
“Kalau yang mahal, bisa dua hari, tiga hari baru jadi satu baju,” katanya merendah.
Harapan Seorang Penjaga Tradisi
Meski bersyukur atas dukungan pemerintah, Mama Paustina berharap ada pelatihan lanjutan, agar ia dan rekan lainya semakin mahir menggunakan alat pintal besar dan mampu meningkatkan hasil produksi.
Sebab baginya, berkarya bukan hanya soal menghasilkan barang, tetapi menjaga tali warisan budaya agar tidak terputus.
Dan selama tali itu masih terikat kuat, Mama Paustina Mote akan terus menenun kisahnya satu noken, satu motif, satu warisan Papua yang lahir dari ketulusan tangannya. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru









