TIMIKA, Koranpapua.id- Dalam Musyawarah Dewan Adat Papua tahun 2025 yang berlangsung di Sarmi, Provinsi Papua tanggal 19-21 November, Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko) menitipkan sejumlah rekomendasi.
Musyawarah ini mengangkat tema “Konsolidasi Kelembagaan dan Advokasi Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat Papua Dalam Konteks Sosial Politik Kekinian di Tanah Papua”.
Pada kesempatan itu, berbagai isu-isu penting dibahas dalam pertemuan yang dihadiri seluruh tokoh adat Papua.
Diantaranya bagaimana memperkuat nilai-nilai adat, termasuk pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) serta batas-batas wilayah adat.
Marianus Maknaepeku, Wakil Ketua Lemasko yang juga sebagai perwakilan tokoh dari Bombarai (Fakfak-Kaimana-Mimika) dalam musyawarah bergensi itu, lebih menyoroti terkait batas-batas wilayah adat Suku Kamoro yang belakangan ini sering diperdebatkan.

“Saya diminta bapak Geri ketua Lemasko untuk hadir mewakili tokoh Bombarai. Banyak hal yang direkomendasikan,” ujar Marianus kepada koranpapua.id, Minggu 23 November 2025.
Pada pertemuan itu, Marianus dengan tegas menyampaikan bahwa setiap lembaga adat, pasti telah memiliki wilayah adat masing-masing.
Namun sangat disayangkan, sejak adanya pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), banyak wilayah Kamoro yang akhirnya dicaplok oleh beberapa kabupaten tetangga.
“Seharusnya kita sudah saling tahu batas-batas wilayah adat. Tapi karena ada yang wilayahnya tidak cukup memenuhi persyaratan menjadi kabupaten, jadi mulai caplok sana-sini,” tegas Marianus.
Dikatakan, sebelum pemerintah ada, wilayah adat sudah terbentuk. Namun karena kehadiran PT Freeport Indonesia, termasuk transmigrasi dan perkembangan Papua bekalangan ini, semua pihak mulai mengkalim tapal batas tanpa mempertimbangkan batas wilayah adat.
“Seharusnya mulai Mile-50 sampai Ombak Picah, terus ke barat sampai Kampung Nariki berbatasan dengan Kabupaten Kaimana, itu tanah adat Komoro,” terangnya.
“Karena tahun 1930 sampai tahun 1940-an, masyarakat Kamoro sudah berdagang dan tidak pernah ketemu siapa pun. Dan kami (Suku Kamoro-Red) sangat tahu, mana wilayah milik kami, karena jika kami masuk satu tempat sudah ada bekas orang, kami langsung keluar,” tuturnya.
Meski tidak menjelaskan secara detail terkait isi rekomendasi yang disampaikan dalam Musyawarah Dewan Adat Papua, namun isu-isu yang disampaikan di atas akan dibahas pada Pleno Musyawarah Dewan Adat tahun 2026 di Manokwari.
Marianus juga mencontohkan isu sengketa wilayah antara Kabupaten Mimika dan Kabupaten Deiyai yang sampai saat ini belum kunjung selesai dan sering kali memicu konflik antarwarga di perbatasan.
Menurut Marianus, sengketa ini melibatkan klaim atas wilayah adat yang didorong oleh potensi kepentingan ekonomi.
“Sengketa seperti ini seharusnya tidak perlu ada, kalau masing-masing tahu batas wilayah adat. Di Kapiraya menjadi contoh. Awalnya datang cari kerja di perusahaan kayu, dan akhirnya orang Kamoro ijinkan tingggal, tapi belakangan klaim milik mereka,” sesal Marianus.
Dengan berbagai persoalan sengketa tapal batas wilayah, Marianus berharap kepada Pemerintah Kabupaten Mimika untuk segera menyelesaikan seluruh persoalan dengan melibatkan dewan adat.
“Tugas kita semua anak adat adalah saling menghargai. Kita berkelahi untuk apa, semua sudah memiliki batas wilayah masing-masing,” pesannya.
“Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk meluruskan, Kami orang Kamoro bukan orang pinggiran, dimana ada sungai mengalir kami ada disitu. Kami sangat tahu dimana batas wilayah adat kami,” tandas Marianus.
Marianus juga berpesan kepada seluruh warga Suku Kamoro, untuk tidak menjual tanah kepada siapapun dan dengan alasan apapun, karena tanah adalah Mama yang wajib dipertahankan untuk masa depan anak cucu. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru










