TIMIKA, Koranpapua.id- Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kampung Tsinga, Waa Banti, dan Aroanop (Tsingwarop) menggelar aksi damai di depan Kantor Yayasan Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMK) pada Senin, 17 November 2025.
Aksi ini merupakan lanjutan dari perjuangan masyarakat adat terkait proses negosiasi kompensasi dengan PT Freeport Indonesia (PTFI).
Ketua LMA Tsingwarop, Arnold Beanal, menyampaikan bahwa dasar tuntutan masyarakat berlandaskan pada kesepakatan AMDAL tahun 2023 yang menurutnya hingga kini belum ditindaklanjuti oleh pihak perusahaan.
“Kesepakatan itu sudah dibuat dan kami sudah bersepakat dalam perjanjian AMDAL tahun 2023. Namun hingga hari ini tidak ada respons pasti dari Freeport,” ujarnya.
Arnold menjelaskan bahwa pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah beberapa kali berupaya memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dan PT Freeport Indonesia, termasuk pada 6 Agustus 2025, namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan negosiasi yang konkret.
“Kami diundang secara resmi oleh KLHK, tetapi Freeport mengutus perwakilan yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan,” tegasnya.
“Setelah itu kami bahkan sudah berkoordinasi dengan Kapolres Mimika agar menjadi mediator, namun tetap tidak ada pertemuan resmi,” tambahnya.

Arnold menilai PTFI tidak menunjukkan itikad baik untuk mendengar aspirasi masyarakat.
Karena itu, pihaknya menyatakan protes keras dan meminta adanya jawaban serta komitmen pasti dari manajemen perusahaan.
Arnold menambahkan bahwa jika tidak ada respons dari pihak PT Freeport Indonesia, masyarakat adat memastikan akan melakukan aksi lanjutan.
Ia bahkan meminta jajaran pimpinan tertentu di Freeport untuk mengundurkan diri jika dianggap tidak mampu mengakomodasi hak-hak masyarakat adat.
Sementara itu, Koordinator Lapangan, Litinus Niwilingame, menegaskan bahwa aksi masyarakat adat dilakukan berdasarkan aturan hukum dan hak ulayat yang diberikan oleh leluhur.
“Kami tidak asal menuntut atau berteriak. Perjuangan ini sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Kami memperjuangkan nasib, kesejahteraan, dan masa depan masyarakat,” ujar Litinus.
Menurutnya, sudah hampir 10 kali pertemuan difasilitasi oleh berbagai pihak, termasuk Kapolres Mimika dan KLHK, namun PTFI disebut tetap tidak memberikan titik terang.
“Kami meminta Freeport hadir dan duduk bersama kami. Kami menuntut 10 persen dari nilai kompensasi berdasarkan pendapatan bersih PT Freeport,” jelasnya.
Litinus juga meminta adanya surat jaminan resmi agar masyarakat dapat bertemu langsung dengan pimpinan tertinggi perusahaan induk Freeport, yaitu CEO Freeport-McMoRan, Mike Anderson, dan Presiden Kathleen Quirk.
Ia menegaskan bahwa masyarakat akan bertahan di lokasi aksi hingga tuntutan tersebut dipenuhi.
“Kami sudah siapkan tenda. Kami akan tetap duduk di sini sampai ada surat jaminan resmi. Jika tidak, kami tidak akan bubar,” katanya.
Hingga berita ini dibuat, perwakilan LMA menyebut bahwa PT Freeport Indonesia belum memberikan respons atas permintaan pertemuan resmi tersebut. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru










