“Kami bukan objek pembangunan, kami adalah subjek yang memiliki hak untuk menentukan masa depan kami sendiri. Cenderawasih bukan barang bukti, ia adalah mahkota kehormatan. Kami bukan penjajah, kami adalah pemilik tanah ini”.
TIMIKA, Koranpapua.id– Dewan Adat Daerah (DAD) Kabupaten Mimika menyampaikan lima tuntutan kepada DPR Kabupaten Mimika, terkait pembakaran mahkota Burung Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua.
Tindakan pembakaran tersebut dinilai sebagai bentuk pelecehan budaya dan penghinaan terhadap identitas leluhur masyarakat adat Papua.
Pernyataan sikap itu disampaikan langsung oleh Vinsent Oniyoma, Ketua Umum DAD Mimika, Primus Natikapereyau, Ketua DPRK Mimika.
Hadir juga Herman Gafur, Ketua Komisi III, dalam pertemuan yang berlangsung di Ruang Komisi III DPRK Mimika, Selasa 28 Oktober 2025.
Menurut Oniyoma, pembakaran mahkota adat Cenderawasih oleh BBKSDA Papua pada 21 Oktober 2025 merupakan tindakan yang melukai martabat masyarakat adat di Tanah Papua.
“Mahkota Cenderawasih adalah simbol spiritual dan identitas leluhur kami. Ia bukan sekadar benda mati, bukan barang bukti, dan bukan objek hukum positif yang bisa dibakar atas nama regulasi,” tegas Vinsent Oniyoma.
“Ketika negara membakarnya, negara telah membakar harga diri kami, membakar sejarah kami, dan membakar kehormatan kami sebagai orang Papua,” tambahnya.
DAD Mimika menilai tindakan BBKSDA Papua yang berdalih menegakkan hukum konservasi berdasarkan Permen LHK No. P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017 telah mengabaikan prinsip-prinsip penghormatan terhadap masyarakat adat.
Mereka juga menyoroti kegagalan implementasi Otonomi Khusus (Otsus) yang dinilai belum mampu melindungi hak-hak masyarakat adat di Mimika.
“Otsus seharusnya menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat,” ujar Oniyoma.
“Namun kenyataannya, kami masih menjadi korban dari kebijakan yang dibuat tanpa konsultasi dan tanpa penghormatan terhadap sistem adat kami,” timpalnya.
Dalam pernyataannya, DAD Mimika mengajukan lima tuntutan utama, yaitu:
- Permintaan maaf resmi dari Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), atas pembakaran mahkota adat Cenderawasih.
- Pencopotan Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas insiden tersebut.
- Revisi Permen LHK No. P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017, dengan menambahkan klausul perlindungan terhadap benda-benda adat dan simbol budaya masyarakat hukum adat.
- Penguatan peran Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam setiap kebijakan yang menyangkut hak-hak adat.
- Pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Masyarakat Adat oleh DPRD Mimika, yang menjamin pengakuan hak ulayat, perlindungan simbol budaya, serta partisipasi penuh masyarakat adat dalam pembangunan daerah.
Menutup pernyataannya, Oniyoma menegaskan bahwa masyarakat adat Mimika tidak akan tinggal diam terhadap tindakan yang melecehkan nilai-nilai budaya Papua.
“Kami bukan objek pembangunan, kami adalah subjek yang memiliki hak untuk menentukan masa depan kami sendiri,” ujarnya.
“Cenderawasih bukan barang bukti, ia adalah mahkota kehormatan. Kami bukan penjajah, kami adalah pemilik tanah ini,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua DPRK Mimika, Primus Natikapereyau, menyatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan DAD Mimika.
“Kami akan menindaklanjuti tuntutan tersebut. Mudah-mudahan hal serupa tidak lagi terjadi, baik di Mimika maupun di Papua secara keseluruhan, agar tidak mencederai identitas orang asli Papua,” kata Primus. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru










