TIMIKA, Koranpapua.id- Di banyak penjuru negeri, riuh tawa anak-anak, kibaran bendera, dan sorak-sorai lomba rakyat mewarnai perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun di Timika, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, ribuan warga asal Kabupaten Nduga hanya bisa menatap dalam diam.
Tidak ada bendera di halaman rumah, bahkan rumah pun tak lagi mereka miliki. Mereka hidup sebagai pengungsi, terasing dari tanah leluhur sendiri.
Sejak dentuman senjata memecah langit Nduga pada Desember 2018, kedamaian di tanah kelahiran itu sirna.
“Satu bulan kami jalan kaki. Karena dengan anak kecil jadi di waktu malam kami bikin kamp darurat. Kalau untuk makan, ada sedikit yang kami bawa dari rumah itu habis, jadi terpaksa di hutan kami cari yang disediakan alam yang bisa dikonsumsi,”
Konflik yang kembali menyala pada 2023 membuat luka lama kian dalam.

Rumah, kebun, dan ternak ditinggalkan begitu saja. Waktu berjalan, tahun berganti, namun kepulangan ke kampung halaman masih sebatas doa yang belum dijawab.
Ipolus Gwijangge, pengungsi asal Distrik Paro, mengenang dengan getir perjalanan panjangnya keluar dari kampung.
Dengan nada pelan, ia bercerita tentang hari-hari penuh ketakutan dan penderitaan.
Bersama keluarga, ia berjalan kaki sebulan penuh, menembus hutan belantara dari Paro hingga Yakapis, Distrik Pulau Tiga, Asmat. Dari sana, mereka dijemput perahu motor menuju Timika.
“Satu bulan kami jalan kaki. Karena dengan anak kecil jadi di waktu malam kami bikin kamp darurat. Kalau untuk makan, ada sedikit yang kami bawa dari rumah itu habis, jadi terpaksa di hutan kami cari yang disediakan alam yang bisa dikonsumsi,” kenangnya.
Namun di tempat baru, penderitaan tak serta-merta hilang. Hidup sebagai pengungsi jauh berbeda dengan di kampung halaman.
“Jadi mau dibilang hidup baik-baik itu tidak, saya menderita di sini,” ujar Ipolus Sabtu 16 Agustus 2025 malam.
Enam tahun sudah Ipolus hidup di Timika, tapi kerinduan pulang tak pernah padam. Meski begitu, ia tahu kepulangan bukan perkara mudah.
“Kalau kami pulang sekarang, sementara TNI-Polri masih ada di sana, itu sulit. Kalau mereka kosongkan Paro, baru kami bisa kembali. Baru kami bisa hidup tenang,” katanya.
Kerinduan yang sama dirasakan Mama Oritkwe Nirigi, perempuan asal Mapenduma. Sejak 2019 ia menetap di Timika, jauh dari rumah dan kenangan di kampung.
Dengan mata berkaca-kaca, ia mengenang hari ketika harus berlari bersama anak-anaknya, meninggalkan semua yang mereka miliki.
“Pakaian cuma di badan saja. Semua uang, harta, dan babi tidak bawa. Saya mau kembali ambil barang di kampung, tapi keadaan tidak memungkinkan.” tuturnya sambil menangis.
Enam tahun berlalu, langkahnya belum pernah kembali menjejak tanah kelahiran. Namun hatinya tak pernah lepas dari kampung Mapenduma.
“Sampai sekarang hati saya masih di Mapenduma, karena di sana semua kenangan, rumah, dan kehidupan saya,” ujarnya lirih.
Pale Gwijangge, tokoh pemuda Nduga di Timika, menegaskan bahwa pengungsian ini menghancurkan kehidupan yang dibangun turun-temurun.
“Puluhan ribu tahun kehidupan masyarakat Nduga ini punya pola, bertani, beternak, berladang. Semua hilang sekejap. Untuk membangun lagi, apalagi di tanah orang, itu sangat sulit,” keluhnya.
Luka terbesar, lanjut Pale, bukan hanya kehilangan harta benda, tetapi juga trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi.
“Ini bukan sekali terjadi. Tahun 1977 operasi besar-besaran, 1995-1996 penyanderaan Lorenz, lalu 2018 kembali lagi. Trauma ini terus ada, dan rasa takut terhadap aparat itu nyata.”
Sayangnya, kata Pale, negara seolah hanya hadir sesekali dengan bantuan seadanya. “Negara tidak bisa hanya kasih beras, super mie, bantuan makan untuk hari ini. Negara harus selesaikan akar masalah yang dia timbulkan,” tegasnya.
Di tengah hiruk-pikuk kemerdekaan, Pale menyampaikan refleksi yang menusuk hati. “Kalau negara tidak hadir bagi rakyatnya, maka kemerdekaan ini tidak punya arti.”
Bagi para pengungsi Nduga, kemerdekaan bukanlah sekadar bendera yang dikibarkan setahun sekali.
Kemerdekaan adalah kepastian bisa pulang dan hidup aman di tanah sendiri, tanpa dihantui peluru dan operasi militer.
“Maka masyarakat juga merasa bahwa kami hidup di bawah trauma, pengungsian hidup kami tidak menentu, sekarang merantau seperti orang yang tidak punya apa-apa,” kata Pale.
Ia berharap negara benar-benar hadir, bukan sekadar lewat janji. “Harapan saya 2.200 rumah di Papua Pegunungan itu kalau bisa dikasih sebagai untuk pengungsi supaya mereka punya hak hidup itu diperhatikan, tidak diabaikan,” jelasnya.
Data Komnas HAM mencatat, sejak 2018 hingga 2023, puluhan ribu warga Nduga mengungsi ke berbagai kota di Papua. Sebagian besar masih bertahan di Wamena, Timika, Jayapura, Nabire, dan kota lain.
Tidak ada kepastian kapan mereka bisa pulang. Banyak rumah, gereja, dan fasilitas umum telah hancur. Anak-anak kehilangan hak pendidikan, hanya menumpang sekolah seadanya.
Di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan ke-80 hari ini, Minggu 17 Agustus 2025, kisah pengungsi Nduga adalah jeritan sunyi dari sudut negeri.
Bagi mereka, merdeka bukanlah pesta rakyat, melainkan kepastian untuk pulang ke tanah leluhur dan hidup tanpa rasa takut. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru