TIMIKA, Koranpapua.id- Sebanyak 21 karyawan yang bekerja di Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) diberhentikan sepihak oleh Jhon Stingal Beanal, Direktur Eksekutif Lemasa.
Pemberhentian sepihak itu ditandai dengan dikeluarkanya Surat Keputusan (SK) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tertanggal 21 Januari 2025.
Atas kebijakan PHK tanpa alasan yang mendasar membuat nasib 21 karyawan saat ini tidak jelas.
Hal ini disampaikan beberapa karyawan yang di-PHK yakni, Denias Kiwak bersama Amon Yawame, Bili Beanal dan Polce Tsugumol dalam jumpa pers yang berlangsung di Jalan C. Heatubun, Jumat 28 Februari 2025.
Denias Kiwak menjelaskan, ia bersama teman-teman sesama karyawan merasa kaget setelah mendapat informasi pemecatan tertanggal 21 Februari 2025 yang tersebar melalui pesan WhatsApp.
Meski demikian, 21 karyawan yang namanya pecat tersebut hingga saat ini belum menerima SK fisik yang diterbitkan secara kolektif.
Dengan belum menerima SK PHK yang dikeluarkan Jhon Stingal Beanal, maka mereka menganggap bahwa pemberhentian ini ilegal.
Denias menjelaskan meskipun belum menerima SK fisik dari Direktur Eksekutif Lemasa, namun para karyawan korban PHK sudah menempuh langkah-langkah penyelesaian.
Pertama, mendatangi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Mimika pada Bagian Industrial tanggal 10 Februari 2025 untuk melakukan rapat mediasi.
Pada rapat mediasi dihadiri 21 korban PHK, pendiri Lemasa namun Direktur Eksekutif Lemasa, Sekretaris dan Bendahara tidak hadir.
Karena Jhon Stingal Beanal tidak menghadiri pertemuan tersebut, Bagian Industrial Disnakertrans menganjurkan penyelesaian secara internal.
Kedua, pada tanggal 11 Februari 2025, para karyawan korban PHK bersama Dewan Adat Amungme Nesori Lemasa, Yohanes Kasamol, Joel Beanal serta beberapa perwakilan lainnya menghadiri rapat mediasi di Polres Mimika.
Namun Direktur Eksekutif Lemasa tidak hadir. Rapat mediasi batal dilaksanakan, pihak Polres Mimika memutuskan penyelesaian dikembalikan secara internal.
Setelah dua kali Jhon Stingal Beanal tidak menghadiri rapat mediasi, pada Kamis 12 Februari 2025, Dewan Adat Nesori Lemasa mengeluarkan surat klarifikasi SK PHK tersebut.
Namun lagi-lagi dalam rapat klarifikasi tersebut Jhon Stingal Beanal tidak hadir.
“Ketidak hadiran Jhon Stingal Beanal dalam klarifikasi ini membuktikan ia tidak menghargai pucuk pimpinan tertinggi Dewan Adat Lemasa,” sesal Denias.
Denias bersama rekan-rekan karyawan korban PHK melihat setelah beberapa kali upaya mediasi tidak direspons oleh Jhon Stingal Beanal, maka SK pemberhentian dianggap cacat hukum baik perdata maupun pidana.
Karena merasa dirugikan diberhentikan tanpa sebab, Denias bersama rekan-rekannya akan melaporkan persoalan ini ke Polres Mimika.
Pihaknya akan meminta kepolisian melakukan penyelidikan terhadap pengelolaan dana bantuan Freeport untuk Lemasa selama kepemimpinannya sejak tahun 2019 hingga 2025.
Pemeriksaan ini untuk mengetahui dugaan adanya penggelapan keuangan karyawan tahun 2025 termasuk penggunaan dana lainnya selama ini.
Selain itu, lanjutnya, korban PHK berencana mengadu secara perdata di Pengadilan Negeri Mimika untuk melihat kebenaran SK yang dikeluarkan.
“Kami lihat masalah yang dihadapi 21 karyawan ini terkesan sengaja dibiarkan untuk mengadu domba sesama anak Amungme supaya hancur. Kami menduga situasi ini sengaja dilakukan oleh oknum-oknum tertentu,” pungkasnya.
Denias meminta Freeport sebagai penyokong dana bantuan operasional Lemasa tidak membiarkan kondisi ini terjadi berlangsung lama.
Untuk itu, ia meminta sebelum masalah ini diselesaikan, Freeport harus menghentikan sementara bantuan dana untuk Lemasa.
Denias menegaskan, 21 orang korban PHK bersama keluarga akan melakukan aksi demo damai di Kantor PT Freeport di Kuala Kencana bersama, Senin 3 Maret 2025 mendatang.
Kedatangan mereka selain mempertanyakan status karyawan korban PHK sampai kapan berakhir, juga meminta Freeport menunjukan laporan pertanggungjawaban penggunaan keuangan Lemasa dari tahun 2019 hingga awal tahun 2025.
Termasuk mempertanyakan tindaklanjut hasil rapat pemberhentian secara resmi Jhon Stingal Beanal di Hotel Horison pada 27 Juni 2024 lalu oleh Dewan Adat Nesori Lemasa.
Dikatakan bahwa, pada rapat di Hotel Horison tersebut juga dihadiri Emanuel Kemong, Tokoh Amungme.
Mereka merasa aneh, karena meski sudah diberhentikan, namun Jhon Stingal Beanal masih menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai direktur.
“PTFI kucurkan dana melalui Jhon dengan dasar apa dalam menjalankan semua aktivitas ini tanpa berkoordinasi dengan tokoh Amungme. Karena yang bersangkutan sudah diberhentikan,” tanya Denias.
Ia menambahkan SK pemberhentian Jhon Stingal Beanal sudah dimasukan ke Pemerintah Kabupaten Mimika, Polres Mimika, Pengadilan Negeri Mimika, Kejaksaan Negeri Mimika, PTFI termasuk beberapa institusi lainnya.
“Kalau Freeport tidak respon ini, kami minta lembaga independen di Jakarta untuk audit penggunaan keuangan di Lemasa selama ini. Supaya kita tahu dana ini dialirkan ke mana saja,” katanya.
Audit penggunaan keuangan ini perlu dilakukan, karena hingga saat ini masyarakat Amungme di 11 wilayah adat masih menunggu program apa saja yang akan dilakukan Lemasa.
Pasalnya sampai saat ini tidak ada program yang dijalankan Lemasa.
Ia menambahkan, masalah PHK ini secara hukum tidak kuat karena tidak memiliki dasar yang kuat. Apalagi 21 karyawan yang diberhentikan belum pernah mengetahui apa yang menjadi dasar pemecatan tersebut.
“Pemberhentian sepihak ini sebagai orang Amungme merasa sangat tidak terhormat sekali. Kita ini anak Amungme dan Direktur Eksekutif Lemasa juga anak Amungme. 21 orang korban PHK ini juga anak Amungme bukan orang lain,” pungkasnya.
Ia meminta para pendiri Lemasa yakni Yohanes Kasamol, Joel Beanal sebagai Dewan Adat Amungme Nesori, Jhon Kuum, Wakil Amungme Nesori bersama jajaran harus tegas dan berani memberhentikan Jhon Stingal Beanal.
Sementara Amon Yawame menegaskan, 21 korban PHK bersama istri dan anak-anak akan mendatangi Kantor PTFI di Kuala Kencana pada Senin 3 Maret 2025.
“Kami ini punya istri, punya anak. Kami mau kasih makan apa kalau kami diberhentikan tanpa ada kesalahan”.
Korban lainnya, Bili Beanal menjelaskan Direktur Eksekutif Lemasa mengeluarkan SK pemberhentian tanggal 21 Februari 2025 empat hari sebelum gajian tanggal 25 Februari 2025.
Dengan diberhentikan sepihak ini mereka kehilangan hak-haknya selama Januari 2025.
Dikatakan, sesuai aturan pemberhentian seharusnya berdasarkan alasan-alasan yang kuat.
Namun yang terjadi sejauh ini, para karyawan tidak pernah mendapat panggilan lisan dan teguran tertulis apabila melakukan pelanggaran dalam bekerja.
“Ini tiba-tiba mendapat informasi melalui pesan WhatsApp berantai bahwa 21 karyawan diberhentikan,” bebernya.
Ia menilai kebijakan Direktur Eksekutif Lemasa menerbitkan SK secara sepihak tanpa dasar hukum yang kuat.
Bili menegaskan apabila persoalan ini tidak cepat diselesaikan maka akan melakukan aksi demo damai menuntut kejelasan nasib di Kantor Freeport di Kuala Kencana.
Pemberhentian sebanyak 21 karyawan ini masuk kategori PHK massal. Hal ini bisa dilakukan apabila alasan kondisi keuangan Lemasa lagi goyang atau Freeport menurunkan bantuan dana operasionalnya.
“Namun hingga saat ini kami sebagai karyawan belum mendapat penjelasan apa alasan kami diberhentikan,” katanya.
Lemasa ini miliknya pribumi Amungme. Sebagai putra-putri Amungme dengan diberhentikan 21 karyawan tanpa sebab adalah suatu penghinaan. (Redaksi)