Karya tangan Mama Paskalina kini tidak hanya dikenal di Mimika. Anyamannya telah menembus pasar hingga Tembagapura dan bahkan ke Amerika Serikat.
TIMIKA, Koranpapua.id- Seni merupakan cerminan jiwa manusia dan sering kali menjadi sumber inspirasi yang tak terbatas.
Melalui kisah-kisah tentang seni yang pernah dilalui seseorang, kita dapat memahami lebih dalam tentang proses kreatif, perjuangan dan keindahan yang dihasilkan seorang seniman.
Berikut kisah inspiratif yang dilakoni mama Paskalina Utappo, perempuan tangguh asal Suku Kamoro yang kini berdiri tegak di tengah karyanya sendiri.
Dulu, Mama Paskalina Utappo hanya bisa menatap dari jauh setiap kali sanggar budaya menolak keinginannya untuk bergabung.
Kini mama Paskalina boleh sedikit mengangkat kepalanya. Ia berhasil memimpin Sanggar Janda Papurara, yang didirikan sendiri tahun 2023.
Wadah ini sebagai simbol keberanian, kemandirian, dan cinta terhadap budaya leluhurnya.
Nama Papurara dalam bahasa Kamoro berarti “terombang-ambing tanpa kepastian.” Kata itu menggambarkan perasaan terdalam Paskalina setelah berkali-kali mengalami penolakan.
Tapi dari ketidakpastian itu, lahir kekuatan baru – kekuatan seorang perempuan yang menolak menyerah.
“Sudah banyak kali saya mau gabung sanggar lain, tapi tidak diterima. Akhirnya saya bilang ke anak, sudah, kita bikin sendiri saja,” kisah Mama Paskalina sambil tersenyum mengenang awal mula perjuangannya.
Dengan tekad dan dukungan dua anaknya, Mama Paskalina mulai menenun asa dari helai demi helai daun pandan yang dikeringkan di bawah matahari.
Awalnya, hasil anyamannya hanya dititipkan di toko kecil. Tak disangka, karya tangannya laku keras, bahkan ada yang dibeli dengan harga hingga Rp1 juta.
Dari sana, langkahnya kian mantap. Ia resmi membentuk sanggar sendiri, mulai mengajak perempuan lain bergabung.
Saat ini sudah ada 18 anggota aktif bersama dirinya memproduksi beragam kerajinan khas Kamoro.
“Saya senang, sekarang sudah punya sanggar sendiri. Kita kerja sama-sama seperti keluarga, saling bantu,” tuturnya.
Karya tangan Mama Paskalina kini tidak hanya dikenal di Mimika. Anyamannya telah menembus pasar hingga Tembagapura dan bahkan ke Amerika Serikat.
Setiap bulan, sanggar ini mampu menghasilkan pendapatan hingga Rp5 juta, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak-anak.
Produk yang dihasilkan pun beragam, mulai dari anyaman kecil seharga Rp100 ribu, hingga karya besar bernilai Rp300 ribu.
Semua dibuat dengan proses tradisional — direbus, dikeringkan, dan dirangkai dengan sabar.
Namun bagi Mama Paskalina, nilai sejati dari sanggarnya bukan sekadar uang.
Ia ingin menjadikan Sanggar Janda Papurara sebagai ruang aman bagi perempuan Kamoro untuk berkarya dan mempertahankan budaya mereka.
“Saya mau pemerintah bantu kami supaya budaya ini tidak hilang. Kami mau anak-anak muda juga ikut belajar,” pintanya.
Pelestarian Budaya yang Terancam Punah

Kegigihan Mama Paskalina sejalan dengan suara pengrajin senior Kamoro, Antonius Mumu Kare, yang telah menekuni seni ukir kayu sejak usia delapan tahun – selama 34 tahun.
Ia khawatir generasi muda kini semakin jauh dari akar budaya.
“Ini budaya dari moyang. Bapak mati, tinggalkan ke anak. Tapi sekarang yang kerja tinggal orang-orang tua. Anak-anak muda jarang sekali,” kata Antonius dengan nada prihatin.
Menurutnya, seni ukir kayu dan kerajinan Kamoro adalah identitas yang tak boleh pudar. Ia berharap anak-anak muda mulai terlibat, agar warisan leluhur tidak hilang ditelan zaman.
“Anak muda harus bangkit. Sudah banyak yang sebenarnya bisa, tapi perlu dorongan,” ujarnya tegas.
Baik Paskalina maupun Antonius sama-sama menjadi wajah perjuangan budaya Kamoro di tengah arus modernisasi.
Keduanya membuktikan bahwa pelestarian budaya tidak hanya tentang mempertahankan tradisi, tetapi juga tentang melawan rasa putus asa dan berdiri di atas kaki sendiri.
Karena bagi Paskalina dan Antonius, karya seni yang dilakoni adalah merupakan salah satu cara untuk mengekperasikan perasaan mereka dan terhubung dengan leluhur. (*)
Penulis: Hayun Nuhuyanan
Editor: Marthen LL Moru










