Oleh : Dr. Ignasius Iryanto Djou
MAYORITAS bangsa Indonesia puas dan bersyukur atas kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Itu dibuktikan oleh berbagai survey yang ada, yang paling akhir dirilis oleh LSI pada tanggal 3 Mei 2023, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah Joko Widodo mencapai 82%, sementara survey-survey sebelumnya selalu diatas 70%. Oleh karena itu wajarlah jika mayoritas penduduk Indonesia akan mendukung Capres yang akan meneruskan Langkah-langkah terobosan Presiden Joko Widodo. Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto diyakini akan melakukan hal tersebut.
Walaupun demikian ada beberapa catatan kritis yang masih belum tuntas diselesaikan oleh pemerintahan ini. Perhatian telah diberikan, berbagi inisiatip telah dilakukan namun isu-isu miring ini masih ada karena secara factual hal-hal tersebut masih terjadi.
Yang penulis maksudkan adalah isu-isu seperti: korupsi, oligarkhi capital, benefit sosial dari serangkaian mega proyek, tindak pidana penjualan orang dan kerusakan lngkungan.
Oleh karena itu, tidak benar bahwa Presiden mendatang hanya perlu melanjutkan Langkah-langkah strategis Presiden Jokowi, namun beliau juga harus melakukan penguatan dan perbaikan tata kelola terhadap isu-isu diatas. Berikut sedikit catatan mengenai isu isu tersebut:
Korupsi
Terdapat tiga variable yang biasanya digunakan untuk mengukur tingkat korupsi di suatu negara. Pertama Indeks Persepsi Korupsi dari masyarakat yang biasa dikeluarkan oleh lembaga transparansi internasional. Indeks ini mengukur persepsi pengguna jasa layanan publik atas praktek korupsi di lembaga-lembaga publik. Nilai indeks berkisar antar 0-100, angka nol diberikan untuk persepsi sangat bersih, tidak ada korupsi sama sekali dan nilai 100 untuk kondisi sangat korup. Di awal-awal pemerintahan Joko Widodo, nilai indeks kita terus membaik dari tahun 2015 (nilainya 36) hingga tahun 2019 (40).
Namun kemudian terus memburuk di periode kedua: tahun 2020 menjadi 37 dan tahun 2022 menjadi 34. Variabel kedua adalah Indeks Perilaku Anti Korupsi. Indeks ini mengukur perilaku masyarakat terhadap korupsi yang terjadi.
Nilai indeks berkisar dari skala 0 hingga 5. Nilai nol menunjukkan masyarakat sangat permisif terhadap korupsi dan nilai 5 menunjukkan masyarakat sangat anti terhadap korupsi. Indeks ini cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2021 diskala 3.88, naik menjadi 3.93 di tahun 2022. Ini menunjukkan masyarakat Indonesia makin anti terhadap praktek korupsi di negara ini walaupun faktanya indeks persepsi korupsinya mengalami penurunan (memburuk alias makin korup).
Variabel yang ketiga adalah Survey Penilaian Integritas. Survey ini dilakukan oleh KPK untuk memetakan risiko korupsi, menilai pengelolaan anggaran serta mengukur efektivitas pencegahan korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga publik. Nilainya bergerak dari skala nol hingga 100. Rata-rata lembaga di Indonesia memiliki nilai integritas hasil surveynya diangka 70an. Lumayan baik namun masih ada sekitar 30an persen memiliki perilaku korup dan nilai-nilai ini cenderung mengalami kemerosotan di banyak kementerian.
Jika kita mencermati pemberitaan media beberapa bulan terakhir, terungkap banyak kasus pidana dan temuan-temuan KPK maupun PPATK yang menunjukkan bahwa secara riil perilaku korupsi itu masih banyak ditemukan di berbagai lembaga.
Heboh angka 349 triliuan yang diungkap Prof Mahfud cukup memberikan indikasi kuat akan fakta tersebut.
Oligarkhi capital
Perilaku korupsi ditengarai selain disebabkan oleh moralitas dan sikap hidup hedonis di kalangan elit, juga terkait dengan menguatnya oligarkhi pemilik modal di negara ini. Kongkalikong antara oligarkhi capital dengan oligarkhi (partai) politik sering disebut menjadi biang kerok praktek praktek korup, yang membuat makin besarnya kesenjangan sosial. Implementasi sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sering disebut hanya jadi mimpi belaka.
Secara statistik kondisi ketimpangan ini divalidasi oleh nilai rasio gini yang memburuk. Rasio Gini adalah rasio yang memberikan ukuran ketimpangan ekonomi di suatu negara. Nilainya dari 0 hingga 1. Nilai nol menunjukan kondisi tanpa ketimpangan atau pemerataan absolut. Nilai 1 menunjukkan terjadinya ketimpangan total. Rasio Gini Indonesia sebenarnya membaik artinya mengecil dari tahun 2014 (nilai 0.42) dan turun terus hingga 0.38 di tahun 2019. Kemudian mulai mengalami kenaikan ketika pandemi menjadi 0.385 di akhir tahun 2020 turun ke 0.381 di tahun 2021. Dan kini naik lagi ke 0.384 di tahun 2022. Nilai 0.384 ini relatif masih tinggi dibandingkan negara negara lain di dunia termasuk di ASEAN.
Salah satu penyebabnya, adalah masih belum adanya ketentuan perbedaan maksimal antara gaji terendah dan gaji tertinggi dalam suatu korporasi dan yang kedua masih dominannya pertumbuhan Indonesia didorong oleh industry-industri ekstraktif, baik yang legal maupun illegal.
Banyak industri ekstratif yang tidak comply pada regulasi dan menjadi sumber terjadinya konflik sosial dan kerusakan lingkungan di wilayah operasinya. Dua hal tersebut ikut menjadi penyebab tumbuhnya kemiskinan di masyarakat lokal.
Karena banyak tuduhan yang beredar di medsos bahwa semua itu bersumber dari oligarkhi capital maka telah menjadi kecenderungan publik, akan gampang curiga dan resistan jika personal dari korporasi menjadi elit politik atau pejabat publik atau pejabat publik menjadi pengusaha yang dijalankan oleh para keluarganya.
Benefit lokal dan sosial dari mega proyek strategis
Banyak sekali proyek-proyek strategis di seluruh Indonesia yang menelan investasi sangat besar. Dalam desain besar, hal-hal tersebut merupkan road map transformasi ekonomi yang akan membawa loncatan kuantum, merubah Indonesia menjadi negara maju dan modern. Banyak ramalan pengamat dalam dan luar negeri yang memprediksi Indonesia akan menjadi negara maju nomor 4 dunia di tahun 2045 mendatang. Mimpi Indonesia emas di HUT emas kemerdekaan, kini menjadi KPI jangka panjang Negeri ini.
Sebaliknya ada juga pengamat yang kritis yang melihat potensi risiko yang tidak kalah besarnya dari mimpi tersebut, yaitu bahwa kemajuan atau loncatan ekonomi yang terjadi hanya akan dinikmati oleh sekelompok elit ekonomi dan tidak dinikmati oleh rakyat di kelompok akar rumput.
Indikasi akan hal ini sudah mulai nampak, dari angka GDP Indonesia sudah masuk 10 besar dunia namun dari angka pendapatan per kapita masih diurutan ke 77 bahkan dengan nilai IQ rata-rata hanya 80, angka yang sangat rendah yang menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan kita.
Oleh karena itu, sejak dini pertanyaan mengenai indikator keberhasilan mega proyek strategis tersebut yang harus dikaitkan dengan benefit lokal dan sosialnya, sering mencuat. Dan ini adalah tuntutan yang sah.
Benefit lokal dan sosial tersebut tidak bisa hanya mengandalkan kesadaran philantropis dari para pemilik dan pelaksana mega proyek tersebut dalam bentuk program CSR atau hibah ke pemerintah daerah, namun harus dikawal dengan berbagai regulasi negara yang memiliki daya paksa.
Kewajiban mempersiapkan tenaga lokal dengan skill tinggi untuk dilibatkan dalam mega-mega proyek tersebut, kewajiban mendorong pengusaha-pengusaha local, membina dan memperkuatnya sehingga bisa menjadi mitra bisnis dari pemilik mega proyek tersebut, kewajiban untuk memperhatikan aspek lingkungan dan sosial dalam kerangka ESG, harus lebih tegas dipaksakan lengkap dengan sanksi dan rewardnya.
Kerusakan lingkungan, alkhusus oleh industry extraktif
Ada dua kementerian yang sangat terkait dengan tugas menjaga lingkungan. Pertama tentu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kedua Kementerian ESDM, khususnya Dirjen Minerba karena industri yang sering dituduh sebagai perusak lingkungan adalah industri tambang baik mineral dan batu bara.
Sebenarnya regulasi yang dibuat untuk menjaga lingkungan sudah banyak dan juga lengkap. Sitem monitoringnya dibuat bahkan sejak masih tahap perencanaan tambang. Lembaga dan personal yang bertugas melakukan monitoring juga lumayan lengkap, hingga ke level daerah. Indikator-indikator kesuksesan dalam menjaga lingkungan dibuat dan diintegrasikan dengan indicator-indikator SDG’s.
Namun laporan mengenai kerusakan lingkungan dan pelanggaran berbagai regulasi terus terjadi. Tidak banyak industri tambang yang benar-benar menerapkan good mining practice dan prinsip ESG. Ketegasan dalam menerapkan hukum yang ada sangat diperlukan, termasuk dalam upaya menyelamatkan uang negara yang ditilap dalam lingkup industri tambang ini. Konon ada laporan riset KPK dimasa Abraham Samad yang menyebutkan bahwa jika dana korupsi di industri tambang bisa diselamatkan, maka negara ini mampu memberikan dana per orang sebesar 20 juta per tahun kepada seluruh penduduk Indonesia. Walau angka ini sangat besar sehingga validitas dari survey ini juga bisa dipertanyakan, namun itu mengindikasikan adanya dana negara yang hilang dari pengelolaan industri ini.
Tindakan Pidana Penjualan Orang (TPPO)
Kasus human TPPO yang merajalela di tanah air ini, penyebab utamanya adalah kemiskinan, peluang kerja yang minim di daerah serta akses untuk menempuh proses yang legal dengan persiapan yang baik, tidak tersedia. Kebutuhan untuk mendapatkan penghasilan ini bertemu dengan para mafia penyalur tenaga kerja illegal yang relatif bebas beroperasi telah mengakibatkan jatuhnya ratusan korban human trafficking dari daerah-daerah miskin di tanah air.
Dari tahun 2017 hingga Oktober 2022, tercatat ada 2.385 kasus TPPO warga negara Indonesia yang terjadi baik di daerah asal, daerah transit maupun di negara tujuan. Biasanya untuk menghadapi kejahatan berbasiskan mafia, apa mestinya bekerjasama dengan lembaga intelijen. Namun fakta yang terungkap di Batam, bahwa justru aparat intelijen menjadi bagian dari mafia TPPO, ini menunjukkan betapa seriusnya bahaya ini bagi warga negara kita dan kita membutuhkan Langkah-langkah luar biasa untuk melakukan penegkan hukum di bidang ini disertai dengan Langkah-langkah strategis yang lain.
Betapa mirisnya membaca pernyataan seorang kepala daerah yang sama sekali tidak terusik dengan meninggalnya ratusan korban human trafficking dari daerahnya dengan alas an, salah sendiri kenapa mau pergi secara illegal.
Penegakan hukum yang berkeadilan
Lima aspek sebelumnya: korupsi, oligarkhi capital, benefit lokal dan sosial dari mega proyek strategis serta kerusakan ingkungan, terkait langsung dengan konsistensi penegakan hukum yang berkeadilan di negeri ini. Lima aspek yang menjadi isu yang membutuhkan perbaikan dan penguatan itu bisa diatasi dengan pintu masuk penegakan hukum yang berkeadilan.
Terlihat kelima isu tersebut sangat serius dan menjadi penghambat mimpi Indonesia emas di 2045. Oleh karena itu, siapapun Capres yang diusung, pndampingnya harus yang memiliki ketegasan, integritas dan keberanian untuk menangani isu-isu tersebut. Dan figure yang cocok untuk itu, menurut penulis ada pada Prof Dr. Mahfud MD tidak pada calon-calon yang lain. Saat ini negara lebih membutuhkannya daripada figur seorang pengusaha ataupun militer.***