WAKTU itu seingat saya Hari Sabtu tanggal 12 Desember 1992 atau tepatnya hari ini 12 Desember 2025 genap 33 tahun.
Cuaca pagi hari hingga menjelang siang cukup cerah. Maumere, ibukota Kabupaten Sikka di Pulau Flores-NTT memang dikenal dengan cuacanya yang panas.
Sehingga meski terik matahari siang itu sedikit lebih menggigit kulit, namun warga merasa itu hal yang biasa.
Tidak ada tanda-tanda alam jika akan terjadi sesuatu yang dapat merubah hidup seseorang.
Saya cukup mengingat kisah yang terjadi di tanggal 12 Desember 1992. Karena ketika peristiwa itu terjadi, saya sudah remaja dan duduk di bangku kelas dua SMA Yohannes Paulus II.
Lokasi sekolah itu berada di jantung kota Maumere, atau tepatnya hanya berselahan jalan dengan Stadion Madawat.
Hari itu kebetulan seluruh sekolah menengah atas sedang melaksanakan ujian semester, sehingga jam pulangnya lebih cepat dari hari biasa.
Saya sendiri tidak bisa membayangkan, jika tidak bertepatan dengan hari ujian, mungkin saja jumlah korban jiwa bisa lebih besar lagi.
Perkiraan saya ini berdasarkan jumlah sekolah di kota Maumere dan sekitarnya yang cukup banyak dan sekitar 90 persen gedung sekolahnya hancur.

Membayangkan saja, jika hari itu kegiatan belajar mengajar seperti biasa, berarti ketika terjadi tragedi itu maka sudah dipastikan ribuan anak sekolah akan menjadi korban tertimbun reruntuhan.
Sedikit Mengenang Kisah Itu
Siang itu sepulang ujian, saya sempat berbaring. Namun baru sekitar 15 menit merebahkan badan di tempat tidur, kira-kira pukul 13.00 WITA terasa tempat tidur dan seluruh perabot di dalam kamar bergetar.
Tahu kalau itu gempa, saya pun keluar kamar dan mendapatkan semua penghuni rumah sudah berkumpul di halaman.
Tetangga kana kiri rumah juga memilih keputusan yang sama untuk keluar rumah dan berkumpul di halaman masing-masing.
Ternyata kata orang bahwa bencana alam bisa datang kapan saja dan menyebabkan kerusakan besar hingga jatuhnya korban jiwa, benar-benar terjadi.
Awalnya hanya geteran kecil, disusul gempa dahsyat pun terjadi. Ketika langit masih terang dan sedikit rintik hujan, tanah mendadak berguncang kencang.
Banyak warga yang sadar akan hal itu namun masih ada yang memilih untuk tidak terlalu menghiraukannya.
Namun perlahan kenyataan menampar lebih keras. Tak lama kemudian, guncangan kembali datang.
Kali ini tanah bergetar lebih keras dan hebat. Warga seketika langsung bangun untuk kedua kalinya. Hanya saja, sekarang tak ada waktu untuk melongo berdiam diri.
Mereka harus melarikan diri di tengah berlangsungnya kerusakan hebat. Siang itu kota Maumere langsung terasa berbeda.
Suasana berubah jadi mencekam. Orang-orang berlumuran darah. Debu-debu berterbangan imbas bangunan runtuh di mana-mana.
Gempa berkekuatan 7,8 ini terjadi pukul 13.29 WITA dengan pusat gempa di kedalaman 35 kilometer barat laut Kota Maumere.
Disusul Tsunami hebat terjadi karena gempa tersebut memicu longsor di bawah laut. Peristiwa gempa disertai tsunami akhirnya benar-benar terjadi.
Gempa ini mungkin menjadi salah satu gempa terkuat yang pernah mengguncang Pulau Flores.
Kerusakan meluas terjadi di hampir seluruh daratan Flores, bahkan hingga Pulau Lembata dan Adonara. Ribuan orang tewas dan ribuan rumah warga rusak parah.
Akibat gempa bumi ini juga menyebabkan tsunami dengan ketinggian maksimum 26 m (85 ft) yang menghancurkan rumah di pesisir pantai Flores.
Setidaknya sekitar 2.500 orang tewas atau hilang di wilayah Flores, termasuk 1.490 tewas di Maumere dan 700 di Pulau Babi. Lebih dari 500 orang terluka dan 90.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Gempa ini juga sedikitnya menghancurkan 18.000 rumah, 113 sekolah, 90 tempat ibadah, dan lebih dari 65 tempat lainnya.
Kabupaten yang terkena gempa ini ialah Kabupaten Sikka, Kabupaten Ngada, Kabupaten Ende, dan Kabupaten Flores Timur.
Kota yang paling parah ialah Maumere. Lebih dari 1.000 bangunan hancur dan rusak berat.
Sayangnya peristiwa gempa disertai tsunami di Flores tidak terdekomentasi dengan baik di dalam negeri. Mungkin saja karena saat itu sangat minim perhatian dari ilmuwan Indonesia.
Seperti ditulis nationalgeographic.co.id, hingga tahun 1992, Indonesia belum memiliki ahli tsunami sehingga riset soal tsunami Flores lebih banyak dilakukan ahli-ahli Jepang.
Perhatian kalangan ilmuwan Indonesia terhadap tsunami baru terbangkitkan setelah tsunami Aceh tahun 2004.
Gempa terjadi pada pukul 13:29:26 WITA dan disusul beberapa kali gempa susulan serius.
Setidaknya 2.500 orang tewas atau hilang di dekat Flores, termasuk 1.490 di Maumere dan 700 di Pulau Babi.
Lebih dari 500 orang terluka dan 90.000 orang kehilangan tempat tinggal. Kerusakan diperkirakan melebihi USD$100 juta.
Sekitar 90 persen bangunan di Maumere, kota yang terkena dampak paling parah hancur akibat gempa bumi dan tsunami yang terjadi kemudian, sementara 50% hingga 80% bangunan di Flores rusak atau hancur.
Listrik di wilayah pelabuhan Maumere padam. Rumah sakit Maumere hancur total, dan pasien dirawat di tenda. Kerusakan juga terjadi di Pulau Sumba dan Alor.
Ketinggian tsunami mencapai 3–4 m (9.8–13.1 kaki) terjadi di sepanjang pantai timur Maumere. Ketinggian tsunami maksimum di desa Riangkroko adalah 26 m (85 kaki) dan menewaskan 137 penduduk di desa tersebut.
Di sepanjang Sungai Nipah, tsunami merambat sejauh 600 m (2.000 kaki) ke daratan. Tsunami menghanyutkan seluruh desa dan merobohkan banyak pohon kelapa.
Di desa lain yang berjarak tinggi gelombang tsunami adalah 12 m (39 kaki). Di sepanjang lokasi lain yang terkena dampak tsunami, sebagian besar pohon masih berdiri tegak.
Di Wuring, sebuah desa yang berjarak 5 Km dari Maumere, gelombang setinggi 3 m (9,8 kaki) menyapu desa tersebut dan menewaskan 100 orang.
Di Pulau Babi, tsunami meninggalkan sisa-sisa manusia yang tergantung di pohon, ribuan kematian terjadi di pulau itu dan dua desa rusak parah.
Ketinggian maksimum di pulau itu tercatat 7,3 m (24 kaki). Efek pantulan gelombang di Pulau Flores mungkin turut berkontribusi terhadap dampak destruktif tsunami di Pulau Babi.
Kenangan itu masih terekam jelas di benak ini. Sebenarnya masih banyak kisah piluh dibalik tragedi ini yang bisa ceritakan, namun saya yakin hampir semua warga NTT yang sempat menyaksikan gempa saat itu, pasti punya ceritanya sendiri.
Peristiwa alam itu mungkin punya makna tersendiri. Jika dilihat dari sisi ilmiah, sebagai fenomena alam akibat pergeseran lempeng bumi atau aktivitas sesar.
Namun secara spiritual dan budaya, peristiwa itu memiliki makna sebagai peringatan, ujian keimanan, pengingat akan kebesaran Tuhan dan sebagai tanda akan ada perubahan besar.
Semuanya tergantung pada konteks keagamaan dan mitologi yang dianut, yang semuanya mengajak manusia untuk intropeksi dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Secara keseluruan, makna dibalik gempa dasyat adalah gabungan dari fenomena alam yang merusak dan symbol makna yang lebih dalam, mendorong manusia untuk lebih sadar akan hidup dan Tuhannya. (Marthen L.L Moru)










