TIMIKA, Koranpapua.id- Timika, Ibukota Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, kembali menjadi saksi sebuah peristiwa indah yang lahir dari semangat persaudaraan.
Dalam misa inkulturasi di Gereja Katedral Tiga Raja Timika, warna-warni budaya Nusa Tenggara Timur (NTT) berpadu membentuk harmoni yang mempesona.
Lagu, tarian, busana, dan simbol adat ditampilkan dengan penuh kebanggaan.
Namun keindahan itu bukan sekadar pesta budaya, melainkan cerminan dari sesuatu yang lebih dalam: Flobamora sebagai miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NTT adalah rumah bagi pulau-pulau yang berbeda yaitu Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote, Sabu, Lembata, Adonara, dan pulau kecil lainnya.
Masing-masing memiliki bahasa, adat, serta kepercayaan yang khas. Namun di tengah perbedaan itu, ada semangat yang selalu dijaga yaitu persatuan.
Bagi orang NTT, perbedaan bukan penghalang, melainkan kekayaan yang memperindah kehidupan.
Falsafah ini tercermin dalam semboyan Flobamora, yang merangkul semua suku dari daratan, pesisir, hingga pulau-pulau kecil.
Semangat itulah yang menjadi ciri khas masyarakat NTT, baik di kampung halaman maupun di tanah rantau.
Misa inkulturasi di Gereja Tiga Raja menghadirkan liturgi yang menyatu dengan budaya.
Irama gong dan gendang, doa dalam dialek daerah, serta tarian adat yang dipersembahkan dengan khidmat menciptakan suasana yang menggetarkan hati.
Lebih dari itu, kebersamaan tidak terbatas pada umat Katolik. Saudara-saudara Muslim dari Flobamora turut hadir, duduk bersama, dan memberi warna dalam perayaan.
Inilah wajah Pancasila dalam kehidupan nyata, saling menghormati keyakinan, merayakan keragaman, dan menjunjung tinggi persaudaraan.
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, pernah mengingatkan:
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Pesan itu relevan hingga kini. Ancaman terbesar bangsa bukan lagi kolonialisme asing, melainkan perpecahan antar anak bangsa.
Flobamora di Timika membuktikan bahwa perbedaan dapat dirangkai menjadi persatuan, asalkan ada kerendahan hati dan rasa saling menghargai.
Tokoh besar asal Maumere, Frans Seda, juga pernah berkata:
“Kita boleh berbeda-beda, tetapi perbedaan itu jangan membuat kita tercerai-berai. Perbedaan adalah karunia yang menyatukan, bukan memisahkan.”
Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan napas kehidupan orang Flobamora di rantau.
Meski berasal dari latar yang beragam, mereka tetap mengedepankan kekeluargaan. Dalam suka maupun duka, saling mendukung menjadi tradisi yang hidup.
Pancasila lahir dari tanah flobamora.
Satu hal yang terasa kuat dalam misa inkulturasi adalah bahwa Pancasila sungguh lahir dari rahim budaya Flobamora termasuk dari nurani anak – anak NTT.
Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan bukan konsep asing. Semuanya tertanam dalam falsafah hidup orang NTT.
Ketika masyarakat Flobamora di Timika hidup rukun dengan orang Papua dan bersaudara dengan umat Muslim, kita melihat pancaran Pancasila dari sila pertama hingga kelima, bukan sekadar dalam teori, tetapi dalam praktik nyata.
Flobamora di Timika memberi pelajaran penting bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan kelemahan.
Jika jauh dari kampung halaman saja orang NTT bisa hidup rukun dengan masyarakat setempat, maka bangsa Indonesia semestinya mampu menjaga persatuan di tanah sendiri.
Misa inkulturasi ini seolah berkata: mari belajar dari Flobamora. Jangan biarkan politik praktis, ego kelompok, atau perbedaan keyakinan memecah belah kita.
Pesan Bung Karno tentang bahaya perpecahan dan nasihat Frans Seda tentang perbedaan sebagai karunia perlu terus dihidupkan.
Flobamora adalah miniatur NKRI. Di dalamnya kita melihat pulau-pulau kecil yang berbeda namun bersatu, agama-agama yang beragam namun saling menghormati, budaya yang bervariasi namun tetap menjunjung persaudaraan.
Apa yang terjadi di Gereja Tiga Raja Timika menjadi pengingat bahwa Indonesia akan tetap kokoh selama persatuan dijaga.
Flobamora telah membuktikan hal itu dengan cara sederhana namun bermakna merangkai perbedaan dalam bingkai kebersamaan.
Seperti pesan Frans Seda, perbedaan adalah karunia. Dan seperti peringatan Bung Karno, perjuangan terbesar adalah menjaga persatuan.
Di tanah Papua, jauh dari kampung halaman, masyarakat Flobamora telah melakukannya. Kini, tinggal bagaimana bangsa Indonesia belajar dari mereka. (*)
Penulis: Gabriel Zezo
Wakil Ketua III Ikatan Flobamora Mimika