TIMIKA, Koranpapua.id- Warga Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah yang mengalami gangguan kesehatan jiwa cukup banyak.
Ini berdasarkan data pengobatan Orang Dengan Gangguan Jiwa (OGDJ) dan Konsultasi Psikologis yang dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Mimika pada Jumat 18 Oktober dan Sabtu 19 Oktober 2024, yang mencapai 75 orang.
Pengobatan ODGJ dan Konsultasi Psikologis yang berlangsung selama dua hari di Puskesmas Timika, Dinas Kesehatan bekerjasama dengan dr. Manoe Bernd Paul, SpKJ. AR(K).,M.Kes dan dr. Liza Otaviani R dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura, Jayapura.
Apa yang menjadi penyebab seseorang mengalami gangguan kesehatan jiwa? Berikut penjelasan yang disampaikan dr. Manoe Bernd Paul.
Menurutnya, orang mengalami sakit jiwa karena dipengaruhi tiga faktor yaitu, faktor psikologis, faktor rentan biologis dan faktor lingkungan.
Faktor psikologis berkaitan erat dengan genetik atau riwayat keturunan orang tua yang mengalami gangguan jiwa atau karena gangguan yang muncul sejak masa kecil.
Kondisi ini mengakibatkan kecerdasannya tumbuh tidak sesuai usia. Selain itu karena gangguan autis menghambat perkembangan belajar seperti tidak bisa membaca karena otaknya lambat berkembang.
Untuk gangguan autis ini, seseorang meskipun sudah berusia tua namun cara berpikir atau perilaku masih seperti anak-anak usia tiga tahun.
Kemudian perilaku yang tidak bisa mengatur emosinya. Dimana pasien rentan terhadap emosi dan tidak mampu mengaturnya.
Ini dikarenakan tidak terlatih memecahkan persoalan dengan baik, memendam persoalan dan tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan.
Kemudian faktor biologis, pasien sering mengalami sakit-sakitan, sakit kronis berkepanjangan yang dapat mempengaruhi perkembangan otak.
Sakit malaria juga berpotensi menggangu kesehatan jiwa. Meskipun malaria sudah sembuh tetapi gangguan perubahan emosi dan perilaku.
Penyebab lain sering memakai zat-zat adaptif berbahaya seperti ganja dan Narkoba yang merusak jaringan otak serta perubahan perilaku.
Ia menekankan kerusakan fungsi otak sangat berbeda dengan kerusakan anggota tubuh lainnya.
Jaringan otak rusak tidak bisa diperbaiki harus mencari jalan lain untuk membangun jaringan saraf.
Semakin banyak yang rusak makin tidak berfungsi. Berbeda dengan kerusakan pada jaringan anggota tubuh lain.
Semisalnya kulit rusak bisa diperbaiki dengan menumbuhkan kulit baru atau terluka kulit tersambung kembali.
Dengan demikian gejala-gejala halusinasi, perubahan perilaku berbicara sendiri, gelisah, bicara tidak nyambung dan tingkah laku aneh, yang dilihat pada pasien merupakan bagian fungsi otak sudah tidak bekerja secara normal.
Ketiga faktor lingkungan yang mana secara umum maupun dalam keluarga memiliki peranan sangat besar. Pola pengasuhan orang tua yang kurang konsisten serta kurang memberikan afeksi atau kasih sayang.
“Komunikasi yang kurang sehat, keras, kasar, hidup di lingkungan sering melakukan kekerasan turut mempengaruhi perubahan perilaku,” jelasnya.
Selain itu relasi di luar rumah antara guru dan murid, teman sebaya, perundungan atau bully. Hal-hal ini berisiko menimbulkan anak mengalami perubahan perilaku emosi.
Masalah lain yang turut mempengaruhi emosi dan perubahan perilaku kata dr. Paul, anak terlalu lama bermain game di Android tanpa ada pengawasan dan pengaturan waktu.
Atau anak yang bermain game sejak usia kurang dari delapan tahun sangat berbahaya menimbulkan ketergantungan lebih tinggi.
Kondisi ini juga bisa terjadi pada terhadap orang dewasa yang terlibat dalam game online dan judi online sangat berpotensi perubahan perilaku ketergantungan.
“Jika lingkungan dan diri sendiri tidak mampu membatasi akan berdampak pada kerentanan gangguan kesehatan jiwa,” pungkasnya.
Untuk itu dr. Paul menilai langkah pengobatan OGDJ dan Konsultasi Psikologis yang dilakukan Dinkes merupakan salah satu solusi jangka pendek terbaik.
Dengan pelayanan ini membuka layanan untuk mendekatkan kepada masyarakat selain melakukan layanan kunjungan ke rumah.
Ia menegaskan, prinsip penanganan kesehatan jiwa harus ditangani sesegera mungkin, baik pola pengobatan dan edukasi. Sebab semakin ditunda hasilnya bakal makin buruk.
Sedangkan untuk jangka panjang penanganan ODGJ, dr. Paul menganjurkan pemerintah perlu menyiapkan rumah rehabilitasi untuk menampung sementara sebelum dirujuk ke rumah sakit jiwa.
Tujuan supaya pasien yang terkontaminasi dengan minuman beralkohol, Narkoba dan lain-lain dapat menghentikan seluruh aktivitasnya sehingga dapat memperpanjang perubahan perilaku.
Dan selama berada di rumah singgah mendapat pengawasan untuk diobati.
Ia menjelaskan lama konsumsi obat bagi pasien gangguan kesehatan jiwa membutuhkan waktu satu sampai dua tahun, tergantung pada diagnosis dan jenis sakitnya serta mengelola kesadaran pikiran.
“Jangka waktu satu sampai dua tahun konsumsi obat merupakan gangguan jiwa ringan, tetapi bagi yang berat bisa seumur hidup,” katanya.
Dikatakan secara psikiater, dalam penanganan kesehatan jiwa jangan dilihat pengobatannya tetapi dinilai dari keberuntungan atau manfaatnya setiap diri pasien.
Manusia dinilai bukan karena keutuhan fisiknya melainkan manfaat bagi dirinya dan lingkungan.
“Sehingga meskipun pasien tetap minum obat tapi di rumah bisa berbuat sesuatu itu sangat bernilai. Ketimbang pasien hanya duduk-dudik di jalan tanpa bermanfaat,” katanya.
“Kalau mengalami gangguan ringan seperti cemas, mood kurang baik selain konsumsi obat kembali kepada pasien itu sendiri”.
Caranya adalah dengan membangun pola pikir dan mengendalikan emosi. Kebiasaan memikirkan hal-hal yang tidak pernah terjadi harus dihentikan dan mengelola pikirannya yang perlu diatur. (Redaksi)