Oleh: Ignatius Iryanto, Dr. Ing.
Sekjend Archipelago Solidarity Foundation
Peneliti Senior pada Risk Consulting Group.
TANPA banyak menarik perhatian publik yang lagi fokus pada penghinaan Rocky Gerung pada Presiden Joko Widodo serta deklarasi Golkar dan PAN, telah terjadi saling respon antara ekonom Faisal Basri dan Presiden Joko Widodo terkait persoalan hilirisasi yang diikuti oleh pemaparan data yang lengkap dan cermat oleh Deputinya pak Luhut.
Ini dialog lewat media yang sangat sehat karena terjadi ujikaji atas opini dengan basis data, yang mestinya penting untuk diikuti dan menjadi wacana public karena terkait dengan masa depan bangsa dan negara.
Diawali dengan statement Faisal Basri di podcastnya Bambang Widjoyanto yang mengatakan bahwa 90 % keuntungan program hilirisasi mineral dinikmati China. Presiden mempertanyakan metoda perhitungan yang digunakan Faisal Basri sekalian menjelaskan data yang dimiliki oleh pemerintah.
Dengan mengambil contoh nikel, dijelaskan bahwa saat dieksport dalam bentuk mentah nilai eksportnya Rp.17 triliun, setelah masuk ke industri downstreaming lewat hilirisasi nilai eksportnya Rp.510 triliun.
Negara yang mendapatkan pajak eksportnya tentu juga mengalami kenaikan nilai eksportnya yang tajam. Baik PPN, pph badan, PPh karyawan, pph perusahaan, royalty, bea eksport serta PNPB.
Keterangan pak Presiden ini kemudian ditanggapi lagi oleh Faisal Basri yang pertama-tama menolak data yang dikemukan bapak Presiden itu bahwa tidak benar nilai eksport nikel awalnya Rp17 triliun dan kemudian naik 510 triliun.
Kemudian dikemukan dasar dari opininya yang mengacu pada data yang dia pegang bahwa 99 persen dari olahan setengah jadi Nikel dalam bentuk Nickel Pig Iron (NPI) di eksport ke China sehingga mendukung industry manufacture China.
Faisal Basri tidak menjelaskan perhitungannya bagaimana sehingga sampai ke angka 90% profit lari ke China itu, namun saya menduga dia menghitung sampai ke nilai produk industry China yang dibuat dari bahan baku NPI ini. Tentu nilai tambahnya sangat tinggi. Namun detil perhitungannya tidak ada.
Seluruh data yang dikemukakan Faisal Basri lalu diruntuhkan oleh Septian Haryo Seto yang menurunkan artikel panjang dengan 34 points bahasan tentang hal ini. Data dan argument Faisal seluruhnya ditolak dengan sangat meyakinkan. Penulis tidak akan mengulangi point- point dari tulisan bernas mas Seto ini, karena tulisannya bisa dicari di internet.
Namun, menurut hemat penulis, ada dua hal yang belum jelas baik dari statement Faisal, repon Presiden dan argument serta data dari mas Seto.
Pertama, tidak jelas bagaimana perhitungan Faisal sampai pada angka bahwa 90% keuntungan dari hilirisasi dinikmati oleh China. Faisal juga mengatakan bahwa 99% dari produk NPI hasil hilirisasi nikel itu diexport ke China.
Sangat mungkin kedua statement ini berkaitan bahwa Faisal sampai pada angka 90% itu karena 99% NPI dieskport ke China. Bagaimana korelasinya dalam perhitungan Faisal tidak dikemukakan.
Mas Seto menjawab klaim 90% keuntungan itu dinikmati oleh China pada point 17 dalam artikelnya. Saya mengutip sebagian datanya: “Dari 100% nilai produk smelter, kontribusi biji nikel adalah 40%, 12% laba operasi yang bisa dinikmati investor dan 48% adalah sumber daya tambahan yang dibutuhkan untuk mengolah biji nikel tersebut.
Dari 48% tersebut, 32% dinikmati oleh pelaku dalam negeri dalam bentuk batubara, tenaga kerja dan bahan baku lain. Hanya 16% dari 48% itu yang dinikmati oleh pihak supplier luar negeri.
Kesimpulan Seto, Nilai tambah yang dinikmati oleh pihak LN/ China (investor dan supplier) adalah 16% ditambah12% laba operasi menjadi hanya 28%….” Mas Seto menunjukkan bahwa nilai tambah terbesar dinikmati oleh pihak dalam negeri.
Mencermati analisa dan perhitungan mas Seto, saya tidak menemukan ada komponen nilai tambah yang bisa diperoleh China jika benar 99% dari produk hiirisasi dalam bentuk NPI ini dieksport ke China.
Seluruh perhitungan mas Seto terkait dengan proses yang terjadi di tanah air. Pengolahan lanjutan oleh industry China terhadap NPI yang mereka terima dari Indonesia yang menghasilkan produk-produk akhir industry mereka.
Saya yakin memiliki nilai tambah yang sangat tinggi, entah produk akhirnya berupa baterei maupun berupa bahan-bahan baja khusus yang membutuhkan nikel, tidak masuk dalam perhitungan mas Seto.
Sayang saya tidak memiliki akses atas data-data ini, sehingga tidak bisa ikut menghitung apa benar angka 90% dari Faisal itu berasal dari sana.
Pendekatan kritis yang dilakukan Faisal Basri, menurut pemahaman saya, sudah masuk dalam grand design Presiden Joko Widodo yang dalam berbagai kesempatan menjelaskan rencananya membangun ecosystem hilirisasi terkait industry baterei serta industry mobil listrik.
Jadi linking antara hilirisasi dan industrialisasi yang menggunakan produk hilirisasi itu, sudah ada dalam planning, hanya memang masih dalam proses negosiasi yang ketat karena persaingan.
Perjalanan ke Australia untuk membangun kerjasama pemanfaatan lithium serta berbagai pertemuan dengan Elon Musk oleh pak Luhut Panjaitan tidak lain adalah stepping stone dari grand design tersebut.
Faisal mungkin benar bahwa saat ini, benefit terbesar dinikmati China bukan karena proses pengolahan di Indonesia namun lebih karena bahan setengah jadi kita seperti NPI menjadi bahan baku bagi industri mereka. Namun itu tidak akan berlangsung terus.
Untuk saat ini benefit yang djelaskan oleh Pak Presiden yang diurai lengkap oleh Seto sudah merupakan benefit yang optimal.
Menurut hemat penulis, ada satu pertanyaan kunci: apakah ecosystem yang direncanakan oleh President Joko Widodo itu hanya bisa direalisasi jika industri baterei lithium serta industri kendaraan listrik dibangun ?
Sehingga selama itu belum terwujud, hampir 100% dari produk hilirisasi kita harus dieksport ke luar negeri / China dan kita harus puas dengan model nilai tambah yang diuraikan oleh mas Seto diatas ?
Sebenarnya industri manufaktur produk produk dari logam seperti industri pompa, boiler, compressor yang digunakan oleh berbagai indutri dalam negeri masih terus mengimport berbagai bahan baku material material khusus dari luar negeri, karena industri logam kita baru mampu menghasilkan baja biasa serta aluminium biasa.
Bahan-bahan seperti stainless steel, carbon steel, duplex dll, yang membutuhkan material-material seperti nikel, chrom, tembaga, mangan dll masih harus diimport. Industri -indutri pengecoran logam kita justru masih mengimport NPI tersebut yang jika dicor bersama material-material lain dengan komposisi tertentu akan menghasilkan logam-logam khusus.
Berapa besar kebutuhannya, mestinya bisa dicheck. Sehingga pertanyaan penulis yang utama adalah apakah tidak dimungkinkan minimal sebagian dari produk-produk hilirisasi itu digunakan dalam negeri untuk berbagai industri yang membutuhkannya daripada hampir seluruhnya dieksport ke China. Kesan bahwa hilirisasi kita difungsikan untuk melayani industri China sangat kuat dan beralasan.
Hal kedua yang semestinya juga menjadi aspek yang harus menjadi perhatian namun belum diangkat Faisal Basri karenanya tidak ada dalam respon Presiden maupun Seto adalah aspek impak ekonomi bagi masyarakat lokal. Isu ini adalah kenyataan dan mencuat lewat beberapa pernyataan berikut ini:
- Pengumuman dari kepala Bappenas tentang provinsi miskin pada tanggal 5 Juni 2023 dalam Rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, yang menunjukkan bahwa 4 provinsi penghasil nikel: Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat itu masih tergolong provinsi miskin di negeri kita.
- Gubernur Provinsi Maluku Utara pernah mengeluarkan statement bahwa nikel yang dihasilkan dari daerahnya tidak memberikan impak positip pada ekonomi masyarakat lokal di Malut, walaupun pemerintah pusat mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Malut tertinggi di dunia.
- HIlirisasi ini terkait langsung dengan kehadiran tambang mineral di daerah terkait, yang sudah lama menimbulkan pro kontra soal lingkungan, konflik sosial dan menimbulkan kemiskinan.
Ini telah memicu reaksi dari beberapa figure senior Indonesia Timur yang menyerukan penolakan eksploitasi SDA di kawasasan timur karena hanya merusak lingkungan dan terjadi pemiskinan masyarakat lokal.
Seharusnya impak ekonomi bagi masyarakat lokal dari kehadiran tambang ataupun smelter sebagai bagian dari hilirisasi sebenarnya dapat diperoleh dari:
- Kepemilikan saham minoritas dari masyarakat lingkar tambang atau bahkan pemerintah daerahnya.
- Penyerapan tenaga kerja lokal dari industri tambang maupun industri smelter yang dibangun.
- Pengintegrasian unit-unit bisnis lokal menjadi supplier lokal dari beberapa bahan habis pakai yang dibutuhkan oleh industri tambang maupun industri smelter.
- Program pemberdayaan masyarakat yang lebih fokus pada penguatan potensi ekonomi masyarakat lokal.
- Pemasukan ke kas daerah dari pajak serta royalty tambang.
Selama ini aspek 1 hampir tidak pernah dilakukan. Lewat media kita diinfokan bahwa ada porsi saham Freeport yang dimikili oleh Pemda Papua dan ada rencana bahwa jika proyek Migas Masela dilaksanakan maka ada porsi saham yang diberikan kepada Pemda Maluku dan NTT. Pihak Swasta di Indonesia sama sekali tidak melakukan hal tersebut.
Aspek 2 hingga 4 diatas dilakukan oleh korporasi tambang berdasarkan goodwill masing-masing, jadi sangat tergantung pada kesadaran mereka akibatnya tidak semua melaksanakannya secara substantial.
Aspek 5 tidak pernah dibuka secara transparan ke publik lokal oleh pemerintah daerahnya masing-masing.
Umumnya korporasi tidak melaksanakan point 2 hingga point 4 dengan berlindung pada alasan-alasan klasik seperti:
- Level pendidikan masyarakat lokal serta keterampilan yang dimiliki tidak memenuhi syarat minimum dari perusahaan.
- Tidak ada unit bisnis lokal yang mampu menjadi supplier bagi perusahaan.
Menurut hemat penulis berdasarkan sedikit pengalaman sebagai orang eksternal di industri tambang, alasan-alasan klasik diatas tidak bisa diterima karena korporasi harusnya mampu melakukan program peningkatan pendidikan umum dan vokasi untuk memungkinkan masyarakat lokal diintegrasikan dalam tenaga kerja perusahaan.
Begitu pula peningkatan kompetensi dan kapasitas unit bisnis lokal seyogyanya juga menjadi tanggung jawab korporasi tersebut. Kedua hal ini bisa menjadi program utama dari CSR yang dijalankan oleh korporasi tersebut.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis perlu dikeluarkan regulasi khusus yang memaksa korporasi untuk:
- Wajib menyerap tenaga kerja lokal dari masyarakat lingkar tambang sebesar 60% dari total tenaga kerja korporasi tersebut. Korporasi wajib memiliki roadmap selama 5 tahun untuk mencapai angka tersebut, suatu sistem dan fasilitas pendidikan vokasi harus disiapkan oleh korporasi tersebut untuk masyarakat lokal.
- Wajib memanfaatkan unit bisnis lokal sebagai supplier lokal untuk bahan-bahan habis pakai, sebanyak yang dimungkinkan dengan minimal sebesar 50% dari kebutuhan bahan-bahan habis pakai. Suatu sistem pembinaan UMKM perlu diterapkan sehingga terjadi peningkatan kapasitas dari unit-unit usaha yang dimiliki oleh masyarakat lokal sehingga mampu menjadi supplier lokal bagi korporasi.
- Program pemberdayaan masyarakat adalah kewajiban mutlak dari korporasi yang harus difokuskan pada pemberdayaan ekonomi serta pendidikan yang secara langsung berdampak pada integrasi tenaga kerja lokal menjadi tenaga kerja korporasi.
- Memberikan saham minoritas, misalnya sebesar 5% kepada masyarakat lingkar tambang atau Pemda terkait, tergantung dinamika lokal yang berkembang.
Empat komponen ini jelas akan memberikan impak ekonomi langsung kepada masyarakat lokal yang dapat diukur setiap tahun. Bagi korporasi 4 komponen ini juga akan memunculkan hubungan yang harmonis antara indutri dengan masyarakat lokal.
Ini akan menjamin keberlanjutan dari korporasi sekaligus juga keberlanjutan dari strategi nasional tentang hilirisasi. Regulasi tersebut bisa dikeluarkan oleh kementerian yang sekaligus membentuk unit pembinaan dan monitoringnya.
Fungsi inspector tambang yang selama ini fokus pada persoalan lingkungan dan keselamatan kerja, selayaknya dilengkapi dengan inspektor atas aspek-aspek diatas.
Alternatif lain, jika hal ini benar dianggap penting, regulasinya bisa dikeluarkan dalam bentuk Kepres atau Inpres dan tim pembinaan serta monitoringnya diintegrasikan dalam KSP.
Akumulasi nilai dari 4 komponen itu bisa dirmuskan dalam suatu indikator yang bisa disebut BKL (Bobot Kontribusi Lokal), yang bisa dinilai setiap tahun dan dianugerahi award oleh Presiden atau oleh Menteri ESDM. (**)