Oleh : RP. Avent Saur, SVD
BAGAI kehilangan ayah kandung, begitulah umat merasakan kepergian selamanya, Uskup Agung Ende, Mgr. Vincent Sensi Potokota.
Sejak pukul 8 pagi tadi, saya ambil posisi di balkon Gereja Katedral Ende, sebuah titik strategis untuk dokumentasi.
Di dalam gereja, umat sudah hampir memenuh. Tersisa bangku-bangku buat imam konselebrantes di bagian depan sisi kanan. Di luar gereja, umat terus berdatangan.
Tak sampai satu jam, gereja penuh. Tenda di depan gereja penuh. Halaman-halaman gereja penuh. Lautan umat datang dari tiga kabupaten di wilayah Keuskupan Agung Ende.
Tenang. Khusyuk. Duka mendalam menyelimuti perasaan. Kru koor Spiritus Sanctus, CS penuhi balkon, siap mengiringi ekaristi pelepasan Sang Uskup.
“Misa di Jakarta, banyak umat. Misa di Kupang juga begitu. Apalagi di Ende. Luar biasa,” kata Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, Uskup Bandung, sekaligus Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang saat itu didampingi Uskup Sipri (Ruteng), Uskup Ewald (Maumere), Uskup Frans (Larantuka), dan Uskup Domi (Atambua).
Kenapa banyak begitu? “Sebab umat amat mencintainya. Kenapa mencintai? Sebab Uskup Sensi telah lebih dulu mencintai umatnya. Itulah cinta Tuhan,” tutur Uskup Anton dalam khotbahnya.
Diiringi lagu-lagu merdu, perayaan berjalan sejuk, tenang, dan damai, tak peduli pada panasnya Ende.
Suasana tenang itu pecah jadi riuh seketika saat koor melantunkan lagu daerah bahasa Ende-Lio, mengiringi prosesi usungan jenazah Sang Uskup keluar dari Gereja bersamaan dengan barisan rapi para uskup dan ratusan imam konselebrantes.
Tangisan umat pecah. Air mata tak terbendung. Kamis siang panas terik jadi kelabu penuh duka dan air mata. Sang Ayah telah pergi selamanya dan tak akan kembali.
Hanya doa dan air mata yang umat bisa persembahkan buat dia. Selamat jalan Uskup Sensi. Salam bahagia di rumah abadi. (**)